Senin, 21 Oktober 2013

PONDOK SERIES

Anti-Klimaks
             
              Tak terasa, satu setengah tahun sudah hidupku kuabdikan di pondok pesantren. Menjalani hari-hari sebagai guru juga pembina di asrama. Rasanya waktu yang tidak sebentar itu belum juga  membuatku mampu memecahkan banyak teka teki dalam permasalahan anak didik. Kadangkala aku merasa jenuh dan hampir putus asa. Namun sejauh ini perasaan itu masih bisa kutepis seiring mencuatnya harapan. Bagaimana tidak? Tugas yang sedang kuemban ini merupakan tugas yang cukup berat, metode didikan yang dipilih serta dijalankan akan berpengaruh pada perkembangan mereka ke depan. Sebagai pengganti orang tua, banyak hal yang mestinya mampu kulakukan untuk memenuhi hak mereka. Mengingat kita yang berada di zaman serba canggih dan modern, di sana sini banyak sekali persimpangan yang sewaktu-waktu bisa saja menyesatkan masa depan mereka.
            Teman, aku baru sadar, menjadi pendidik bukanlah sebuah tanggung jawab yang gampangan. Apalagi anak didik yang sedang kita hadapi berada pada titik labil atau pubertas. Kalaulah kita salah penanganan maka bisa ditebak bagaimana sulitnya mereka ketika telah dewasa. Aku sungguh tak mampu membayangkan itu. Jika mereka dididik secara keras, bisa jadi nantinya mereka  tumbuh dengan jiwa yang penuh pemberontakan, atau  jiwa-jiwa yang penuh dengan rasa tak percaya diri. Jika mereka dididik dengan sangat longar, maka bisa jadi nantinya mereka hidup tanpa punya pegangan prinsip.
            Melihat apa yang sedang kuhadapi akhir-akhir ini, melihat bagaimana anak didikku belakangan ini,  agaknya aku perlu mempertanyakan satu hal pada diriku sendiri. Apakah aku ini sudah layak disebut pendidik? Yang kutau, teori selama ini mengatakan pendidik adalah orang yang mampu melakukan transfer ilmu juga nilai-nilai terhadap anak didiknya. Untuk tugas itu, pendidik –katanya- mesti mempunyai banyak kompetensi. Kompetensi pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian. Ya sederhananya punya kepribadian bagus, kreatif, mengetahui ilmu pendidikan, serta mampu menjalin hubungan sosial yang baik dengan anak didik. Nah, sebagai intropeksi saja, bagaimana dengan kompetensi yang kupunya ya? J
            Kadangkala kita –pendidik- ada yang cendrung bersikap menyalahkan diri atas kegagalan pendidikan. Di lain tempat ada pula yang masih saja sibuk mencari objek yang bisa disalahkan atas kegagalan tersebut. Keluarga-lah yang salah, atau sistem pendidikan-lah yang ndak bener serta banyak hal lainnya yang selalu dijadikan tameng. Kalaulah kita saling menyalahkan, maka sampai kapan pun urusan ini takkan pernah selesai. Karena tidak hanya keluarga yang patut bertanggung jawab, tidak hanya guru, pun tidak system saja, tapi semua komponen tersebut punya andil dalam menentukan suksesnya tujuan pendidikan. Semua komponen mestinya harus mampu berkolaborasi dan bersinergi dengan keselarasan visi agar si objek –anak didik- tumbuh menjadi  manusia sesungguhnya seperti yang bangsa serta agama ini inginkan.
            Lalu, tidakkah muncul pertanyaan di benak kita? Kira-kira apakah yang menjadi indikator keberhasilan pendidikan tersebut? Ya, seperti yang sudah dijelaskan di atas, mendidik meliputi dua hal penting, yaitu transfer ilmu dan transfer nilai. Mendidik sangat berbeda dengan mengajar. Mengajar memiliki ruang lingkup yang lebih kecil dibandingkan mendidik, hal itu dikarenakan mengajar hanya menitikberatkan pada transfer ilmu pengetahuan dari pendidik ke anak didik saja tanpa memperhatikan nilai-nilai atau value . Lalu bagaimana dengan akhlak serta attitude anak didik kita? Rasululullah sang guru besar diutus oleh Allah kepada umat islam dengan mengemban tugas penting di pundaknya yaitu memperbaiki akhlak manusia. Itu artinya akhlak merupakan hal pokok yang tidak boleh ditinggalkan dalam dunia pendidikan. Meskipun tidak ada mata perlajaran akhlak, tapi ia harus dimasukkan ke dalam kurikulum, dalam dunia pendidikan itulah yang disebut sebagai hidden curriculum.
            Bagiku, untuk anak didikku, akhlak adalah hal utama yang selalu kutekankan. Apa artinya kepintaran intelegensi yang dimiliki tanpa dibarengi akhlak yang bagus. Semua akan menjadi sia-sia jika dengan orang tua, guru, serta masyarakat ia tak mampu menempatkan diri dengan baik. Bagaimana hubungan dengan Allah-nya nanti jika hubungan dengan sesama manusia-nya tidak berjalan mulus seperti yang dituntunkan. Kupikir, inilah amanah paling besar yang akan kupertanggung jawabkan nanti di sisi-NYA sebagai seorang pendidik.
-sekeping coretan hati-
Setelah menganalisa keadaan serta peristiwa yang sudah terjadi, pun sudah lama menimbang serta mengukur diri, agaknya yang perlu kulakukan adalah selalu berusaha meningkatkan kompetensi yang kupunya. Tak boleh puas dengan apa yang telah ada. Cari wawasan lagi, belajar dari senior biar ada pemancing kreativitas. Banyak-banyak menengadah tangan,menundukkan hati, biar Tuhan menunjukkan banyak jalan. Pokoknya jangan sampai harapan ini  pupus begitu saja. Pasti ada cara untuk berhasil, tak sekarang mungkin nanti. Karena yang selalu kucoba yakini adalah gagal bukanlah sebuah akhir.
Semoga menjadi renungan…..
###

 

Syair untukmu, Ananda

Tak terasa pertemuan kita tlah lama
Merapat  dalam ukhuwah terindah
Merajut jalinan kasih antar sesama
Kita bercerita, tertawa,
Bersenandung dalam duka gembira

Di hati ini terselip rindu padamu
Di hati ini ada sayang yang tertahan
Berharap menyapa dengan cinta
Bertatap dengan bahasa penuh sahaja

Jika begitu,
Haruskah kita menjeda kasih?
Marah umi, adalah harapan yang mengakar pada cinta
Demimu…  masa depanmu….
Ananda..

 Kamar sunyi, 2013