Minggu, 20 Oktober 2024

Yang Tak Tau Kapan Berhenti

Di titik dimana aku menyadari bahwa aku tlah melampaui batas
Mengejar hal yang tak patut dikejar
Memaksa diri melakukan ini dan itu 
Tanpa tau bahwa tubuhku berteriak agar sejenak berhenti

Aku kini lelah
Aku sangat lelah
Kesibukanku memakan diriku sendiri
Pikiranku memporak porandakan isi kepala
Aku usai
Eh, aku ingin usai

Jumat, 06 September 2024

Duhai yang Tengah Lupa

Mendengar ocehan negatif seseorang tentang diri kita mungkin akan membuat telinga memerah panas hingga tersulut emosi, Ingin rasanya melemparnya dengan bukti-bukti sebagai klarifikasi untuk membela diri. Supaya khalayak tercerahkan, dan bisa menilai dari dua sisi. Tapi untuk apa, si pembenci akan tetap menjadi pembenci jika pikiran dan hatinya enggan dibenahi. Dan khalayak hari ini sesungguhnya bukanlah orang awam yang perlu diajari untuk menilai seseorang, nurani dan kecerdasan akan mampu menilai dengan benar meski seringkali ketakutan akan keterasingan melunturkan ketegasan dalam bersikap. 
Betapa kita lihat hari ini, kebenaran dikalahkan oleh ketenaran. Kebanyakan orang tidak lagi memandang kebenaran sebagai hal yang perlu dijunjung tinggi yang kemudian dimanifestasikan dalam diri, karena kebenaran hari ini sudah tercampak terhempaskan oleh kepalsuan yang berbalut dalil-dalil pembenaran. 
Saya tidak sedang membahas sesuatu dalam lingkup yang besar, tapi ini terjadi di kelompok kecil. Di mana yang kuat menempati posisi paling tinggi. Dengan kuasa mempengaruhi menarik banyak follower yang mengikuti , membela dan membenarkan. 
Tapi apakah ini akan membuat kita ciut yang kemudian membuat diri kita seperti buih-buih di tepian pantai. Atau seperti baling-baling bambu di puncak bukit. Tentu itu semua tergantung pilihan kita. Jika kita tegas dan terus memegang prinsip kebenaran maka konsekuensi untuk dihujat dan diserang harus diterima lapang dada. Namun jika memilih mengikuti kemana arah angin, maka selagi kekuatan angin yang membawa masih kuat maka kita akan aman berada dalam ritme putarannya. Jika hembusan angin berhenti maka kita akan kembali menjadi pecundang yang tak bisa melakukan apa-apa selain hanya diam seribu bahasa. 
Kebenaran logika dan metode berpikir sangat dibutuhkan dalam hal ini. Agar kita menjadi manusia yang teguh dalam prinsip serta tak takut menampakkan jati dirinya. Ini bukan hanya soal menilai seseorang, bukan soal yang benar harus dijunjung tinggi dan yang salah dicaci maki. Tapi soal konsistensi dalam memegang prinsip hidup. Tentang apapun itu. Kebenaran logika berpikir akan melahirkan tindakan yang tepat, menciptakan pemikiran yang konsisten dan tidak mudah berubah-ubah. Logika berpikir yang tepat dan benar dimasak dengan data-data yang valid yang diperhitungkan, bukan dengan asumsi subjektif yang ditunggangi aneka kepentingan. 
Secara sederhana dan tetap berfokus pada judul tulisan ini, seringkali seseorang begitu mudahkan memberikan label-label negatif pada seseorang tanpa melihat dari beragam sisi, bahkan jatuh kepada fitnah-fitnah tak berdasar. Kemudian hal tersebut disuarakan ke khalayak yang artinya tidak lagi menjadi asumsi pribadi yang cukup disimpan sendiri. Tak hanya menjadi dosa sendiri tapi menjadi dosa jariah yang akan terus dipanen setiap hari selagi asumsi tersebut masih dipegang oleh siapapun yang mendengar.  Artinya; kesalahan logika berpikir membuat seseorang tergelincir pada suatu kesalahan. Bukankah kita harus berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu? Bukankah harus tau dulu seberapa urgentnya sesuatu untuk dibahas? Jika memang harus dibahas, adakah manfaat yang kelak bisa dipanen atau malah berakibat yang tidak baik? dan  apakah kita punya cukup ilmu atau data tentang hal itu? 
Apalagi hal tersebut menyangkut diri pribadi orang lain. Rasanya jelas, bahwa tak ada kepentingan kita dalam membahas pribadi orang lain dihadapan  umum. Jika itu untuk menanamkan asumsi bahwa kita lebih baik atau bahkan sempurna di dalam kepala orang-orang maka silahkan saja, dan tentu hal tersebut telah disusupi oleh kepentingan pribadi kita sendiri. 
Mungkin sikap terbaik yang perlu kita tumbuh suburkan saat menilai pribadi seseorang, adalah dengan memberinya uzhur atas kealpaan yang dia lakukan. "Oh mungkin dia seperti ini karena belum tau ilmunya" Atau dia begitu mungkin karena dia sedang futhur. Kemudian doakan kebaikan untuknya. MasyaAllah, akan sejuk telinga mendengarnya. serta akan tercipta iklim yang damai. Terakhir, sebuah syair sederhana mungkin akan menjadi penutup yang sempurna. Untuk sesiapa saja yang sedang lupa yang kemudian tanpa sengaja telah mencederai sepotong hati. 

"Duhai yang tengah lupa, yang menjelma menjadi pembenci, dengan semua pengikut yang terus mengekor di belakangnya, aku tidak bisa mengontrol dirimu, aku tak mampu  menutup mulutmu dan aku merasa tak perlu melakukan itu. Silahkan tebarkan asumsimu tentangku seluas-luasnya yang kamu mampu, agar seluruh penghuni bumi tau bahwa aku seperti ini dan itu. Tapi sekuat-kuatnya kuasa yang kamu miliki, kuasa Allah sungguh jauh berada di atasmu, dan tidak semua manusia bisa kamu pengaruhi, di luar sana banyak manusia cerdas yang dengan mudah bisa membaca kualitas dirimu. Aku tak pernah butuh pengakuan, aku tak butuh dipandang baik, namun aku tetaplah manusia biasa yang memiliki ragam rasa, jika hatiku terluka aku akan merasakan kesedihan juga.  Bahwa hidupku milikku, dan aku tak perlu menjelaskan apapun kepadamu tentang apa yang menjadi milikku. Aku tak merugikanmu, aku pun tidak berusaha membela diriku ketika kamu berbicara sesuatu di belakangku, kubiarkan kamu dengan segala kekuatanmu dan tidak akan pernah kujatuhkan. Semoga Allah selalu menuntunmu pada kebaikan, karena sesungguhnya aku bisa memahami bahwa kamu begitu karena mungkin saat itu kamu dalam keadaan lupa saja, aku yakin esok kamu akan kembali pada nilai-nilai baik yang sudah ditanamkan pada dirimu sejak dulu. " 

Selasa, 03 September 2024

Diary Ibu : Varicella Lagi

Infeksi varicella sudah berjalan sepekan di area rumahku. Orang pertama yang terinfeksi adalah si sulung. Sepertinya ketularan dari teman sekelas yang sebelumnya menderita penyakit serupa. Di beberapa hari pertama, pikiranku menjadi sangat terganggu. Banyak kecemasan yang bermunculan di kepala. Kenapa? Karena wali kelas si sulung mengatakan bahwa pekan ini adalah pekan tes sumatif, dan beberapa hari lagi ujian tengah semester pun akan dimulai. Selain itu bagaimana menjaga anak tengah dan sibungsu agar ga ketularan sedangkan mereka biasa bermain bersama, dan kalau akhirnya ketularan gimana ngadepinnya, serta ada perasaan ga enak ke atasan karena aku pasti bakal libur kerja dalam waktu yang panjang. Subhanallah, semua itu bersarang di kepalaku setiap waktu. 
Tapi sekarang isi otakku sudah mulai rapih lagi. Hari demi hari kucoba menata pikiran. Mengklasifikasikan masalah dari yang paling darurat hingga ringan, sehingga aku tau mana yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu, aku pun bisa menuntaskan masalah satu persatu dengan lebih ringan. Kemudian perlunya sikap "acceptance" Atau menerima keadaan yang menimpa.  Bahwa ini takdir, dan tidak boleh ada penolakan atau pertanyaan. Sehingga aku bisa secara jernih memaksimalkan usaha preventif dan kuratifnya. Setelah itu kuberserah pada Allah apapun yang terjadi itu terjadi atas kuasa dan kehendakNya. Dan aku akan menjalani saja dengan segala kekuatan diri yang kupunya. 
Di saat tulisan ini kutulis, anak tengahku akhirnya terinfeksi dari abangnya. Suamiku juga, karena saat cacar air datang ke rumah, suami  dalam keadaan sakit dan imun beliau sedang lemah, jadi dengan mudahnya virus itu menjangkiti. Tersisa aku dan sibungsu. Aku terus berbicara pada diriku sendiri bahwa aku harus kuat. Setiap waktu kukatakan bahwa aku kuat. Semoga Allah mengijabah harapanku sehingga aku bisa menjadi tameng keluarga sementara ketika suami terbaring lemah. 
Aku menerima, karena aku sudah berusaha.  Beberapa saran dari teman-teman sudah kulakukan semampuku. Pisah kamar, booster imun, konsumsi banyak protein, menghindari kontak fisik dan lain sebagainya. Tapi apa daya, beberapa dari kami terinfeksi juga. Aku menerima karena sakit tidak selalu menjadi musibah, bahkan di saat sekelilingku sakit aku menjadi lebih banyak bersyukur karena begitu banyak kemudahan yang Allah berikan di balik kesusahan yang kuterima.
Banyak chat dari kawan yang bertanya, kemarin udah kena cacar, kok bisa kena lagi sih? Sekali lagi kujawab. Waktu konsultasi ke dokter saat infeksi cacar dua bulan lalu aku sudah menanyakan hal ini ke dokter, apakah kita bisa terinfeksi dua kali? Dan dokter menjawab, bisa. Jika imun tubuh sedang menurun maka virus cacar bisa menyerang untuk kedua kalinya. 
Apakah ini karena anak-anakku tidak diimunisasi? Tidak juga, karena aku dulu imunisasi cacar, tapi kena cacar juga. Suamiku pun imunisasi, tapi kena juga. Yang kutau dari dokter saat aku dan suami menolak pemberian imunisasi kepada anak kami ; imunisasi tidak membuat kita kebal virus, tapi meringankan efek serangan virus. Wallahu a'lam

Senin, 02 September 2024

IAH

Kali ini aku merasa sendiri
Tak ada yang peduli dan mengajak berkomunikasi
Hanya note-note kosong menanti 
Agar segera dicurahkan segala isi hati
Kemana dia yang dulu selalu di sisi
Yang tersenyum dengan lesung di pipi
Mendengar segala kesuh kesah diri
Yang turut berbahagia tatkala sempurna hari hari

Apakah kali ini atau seterusnya
Karena lelah terasa lebih nyata
Tatkala dia tak lagi mau menerima
Apapun selalu menjadi prahara
Membuat kusut isi kepala
Juga sakit di sekujur jiwa dan raga
Pada akhirnya ini menjadi satu tanda tanya
Apakah ini saatnya
Menyerah dengan menanggalkan semua 
atribut bersamanya

Tapi rasa ini mungkin saja salah
Karena pikiran sedang dijajah gundah
Sulit menilai seberapa ini parah
Sehingga sulit untuk mengalah
Apalagi menerima kesalahan, jelas susah
Hingga kini diri dirundung pasrah
Yang dimampu hanyalah berserah
Pada semua ketentuan dan petunjuk Allah


Minggu, 01 September 2024

Notasi Cinta Untuk Ibuk

Buk, kita sama sama tau betapa kita saling mengasihi. 
Kasih sayang yang terbentuk bukan hanya dari pertalian darah, tapi juga dari pembiasaan, serta dari gesekan-gesekan kecil yang terus menambah kelekatan. 
Kita sadar betul bahwa keluarga adalah tempat kita menaruh segala kepercayaan. Tak ada keluarga yang mengkhianati, tak ada keluarga yang berpaling saat kita rubuh hancur dan remuk. 
Keluarga pulalah tempat pulang ternyaman, di saat jiwa tlah lelah dalam pengembaraannya, mencari jutaan makna di dunia.
Dan keluarga itu adalah kita. Ya, kita. 
Buk, aku ingat beberapa kesimpulan yang kita ambil dari rentetan panjang peristiwa kehidupan  kala itu. Bahwa ke depan kita akan terus berpegangan saat goncangan dari kanan kiri berusaha menghempaskan. Bahwa ke depan kita akan selalu ingat bahwa kebahagiaan duniawi bukanlah tujuan kita. Bahwa dari sekarang hanya kita yang tau hidup kita serta sejarah yang ada di belakangnya. Tak akan ada yang mengerti dan takkan ada yang bisa mengerti kecuali kita. 
Buk, darimu aku belajar menguatkan diri. Saat takdir yang berjalan menyelisihi keinginan hati. Darimu kudapatkan sikap keras kepala untuk mewujudkan segala mimpi. Darimu juga aku belajar menghargai setiap perjuangan. Darimu aku belajar berjuang mempertahankan hak-hak kita, dan belajar mengikhlaskan saat hak tersebut dirampas paksa. Dari kisahmu aku belajar bahwa bagaimanapun kerasnya hidup akan selalu ada kemudahan yang menyertainya.
Terima kasih Buk, atas segala penerimaanmu atas diriku. Dari kekurangan dan kelebihanku sebagai anakmu. Dari kegagalanku dalam memenuhi impianmu. 
Yang mana aku sering memilih jalan lain sementara kau telah menyediakanku  jalan yang menurutmu benar. 
Aku jauh luar biasa senang hari ini. Karena sekarang wajahmu tampak lebih ceria. Ibadahmu semakin banyak, dan aku melihat perubahan yang sangat besar dalam caramu memandang segala hal. 
Buk, aku ingin ibuk bahagia. Segala hal yang terjadi di belakang biarlah menjadi sejarah dan bukti perjuangan kita menuju hari ini. Berbahagialah Buk. Pergilah kemana ibuk suka. 
Mau di kampung atau di rumahku kemana ibuk mau. Ada anak, cucu-cucu dan menantu yang akan menambah kegembiraan. 
Buk, Terima kasih segalanya ya Buk. 

Jumat, 30 Agustus 2024

Diary ibu ; Ketika Wabah Menjangkiti

Cacar air kembali mewabah. Alhamdulillah anakku kebagian juga. Anak sulung, yang sedang menempuh pendidikan Sekolah dasar. Sebelumnya hampir separuh teman kelasnya yang libur disebabkan penyakit serupa. Wali kelas mengirimkan informasi waspada di grup kelas sekaligus mengingatkan orang tua agar anak yang terinfeksi untuk libur dulu. Guru-guru panik memikirkan bagaimana menuntaskan pelajaran, para wali murid lain cemas jika anaknya tertular.
Aku berusaha santai namun tetap memasang kewaspadaan dengan memberikan suplemen tambahan kepada anak-anak. Baru dua bulan lalu kami sekeluarga diserang cacar air . Semuanya tertular, termasuk aku dan suami. Dan dalam otakku, kemungkinan besar anakku tidak akan terinfeksi lagi karena katanya infeksi cacar hanya sekali seumur hidup.
Namun, qadarullah, anakku diserang untuk kedua kalinya. Ternyata Informasi bahwa Infeksi cacar sekali seumur hidup tidak berlaku lagi untuk sekarang ini. Virus sudah mempunyai resistensi terhadap obat atau anti virus yang dulu pernah diberikan. So, tidak ada jaminan kita aman dari serangan virus varicella ini.  Jika imun sedang lemah maka kita berpotensi terinfeksi lagi.
Sebagai ibu dari tiga anak yang masih kecil-kecil. Menangani wabah seperti cacar ini sungguh sulit. Perasaan ibu sangat dimainkan. Tak hanya kerepotan dalam memberi obat, tapi juga menjaga dengan ketat agar anak yang belum terinfeksi  tidak ikut ketularan. Begitu juga menjaga perasaan anak yang sedang diisolasi. Memikirkan bagaimana dia tidak berkecil hati, bagaimana menjaga moodnya agar tidak bosan. Tapi, anak-anak tetaplah anak-anak, mau dikasih pengertian berapa kalipun, akhirnya kebobolan juga. Dan pada akhirnya terjadi juga kontak fisik  dengan saudaranya. Aku faham betul, betapa tidak enaknya di kamar sendirian. Ibu tidak selalu bisa menemani karena adik bayi masih butuh dikeloni. Jikalau saja tubuh bisa dibagi dua, maka akan ibu bagi dua. Tapi mana mungkin.
Lanjut ke kerempongan yang lain. Yaitu pemberian antibiotik setiap 5 jam sekali. Ini benar-benar menguras tenaga dan perasaan. Meski udah diatur sedemikian rapihnya tapi tetap aja akan mengganggu waktu tidur anak. Coba bayangkan, anak lemes, lagi enak-enak tidur dibangunkan. Harus pakai drama dulu, dan kadang pun terpaksa gagal karena obat yang tumpah.
Belum lagi gagalnya  usaha ibu menjaga anak yang lain. Mereka yang akhirnya terinfeksi juga . Di kasus dua bulan lalu itu selisih satu pekan, sepekan abang sakit, adik kedua tertular, sepekan setelah itu adik bungsu pun tertular. Alhamdulillah, libur ibu jadi makin panjang jadi 1 bulan. Dan menjadi lengkaplah segala daya dan upaya. Ibu dan ayah harus menjadi sandaran paling kuat untuk menangani semuanya.
Melalui hari demi hari, minum obat dan oles salep tanpa henti, sembari berharap anak lekas sembuh dan segala bekas di wajah dan badannya bisa hilang menjadi mulus bersih seperti sedia kala.
Note ; Cerita Ini datang dari seorang ibu rumah tangga sekaligus guru di sekolah. Sekarang dikasih libur dulu, menikmati dan tetap mensyukuri segala keadaan. *diary ibu, 2024

Senin, 26 Agustus 2024

Mendidik Dididik

Terkadang kita sebagai orang tua tidak sabar menunggu kesuksesan dari penetrasi nilai yang kita tanamkan pada anak. Kita cenderung menginginkan hasil yang instant dan terlalu egois sebagai orang dewasa sehingga enggan  menikmati proses demi prosesnya . Hari ini mereka dinasehati, besok harus berubah. Hari ini nilai-nilai ditanamkan, besok harus dipraktekkan. And, no excuse! tak ada alasan dan pertentangan. Kita lupa bahwa manusia di sepanjang hidupnya memiliki kesempatan yang luas untuk terus berproses. Tapi kita seolah mengabaikan masa berproses ini. Kita tidak memberikan waktu yang cukup untuk mereka berpikir, merenung, serta bertanya apa dan mengapa. Kita tidak memberikan ruang  untuk mereka belajar mengendalikan diri dan emosi. Kita juga tak memberikan waktu untuk mereka jatuh bangun, jatuh lagi kemudian bangkit lagi dari suatu keterpurukan. Yang mana semua proses ini sangat dibutuhkan untuk kematangan diri mereka di masa depan. 
Asumsi ini tidak serta merta muncul begitu saja. Betapa sering telinga ini mendengar kalimat-kalimat kekecewaan dari mulut orang tua, yang menggambarkan ketidakmampuan anak dalam memperbaiki diri.
 "sudah berkali-kali dibilangin, tidak juga berubah" 
"kamu kok ga ngerti-ngerti sih, yang kamu lakukan ini salah" 
"Patuh aja kok susah, ini baik untuk kamu"
atau dengan bahasa lain yang senada. Yang seolah kita sudah mengusahakan semaksimal mungkin untuk perubahan mereka kepada yang lebih baik. Padahal sebenarnya, kitalah yang belum memberikan mereka waktu untuk berproses. Semakin besar usia anak, tentu pemikirannya berangsur matang. Pikiran dan hati yang jernih akan membantu mereka untuk tau apa yang baik untuk dirinya. Terkadang dia butuh dihargai, bukan didikte. Terkadang dia butuh diajak diskusi untuk membantunya memahami, bukan memaksanya ikut apa yang kita mau tanpa kita tau apa yang dia mau. 
Lagi lagi, mendidik adalah tanggung jawab yang besar. Dan sepertinya kesuksesan dalam mendidik anak adalah sebuah prestise yang besar pula. Namun, memberi beban dan tekanan pada anak demi sebuah kebanggan tidaklah benar. Baik buruknya anak mereka tetaplah anak kita, aset kita yang paling berharga. Tugas kita hanya berusaha dengan terus  menanamkan nilai nilai baik dalam dirinya. Tidak boleh ada kata bosan dalam mendidik. Lakukan terus, baik melalui nasehat ataupun keteladanan. Setelahnya, serahkan semuanya pada Allah. Karena Allahlah yang Maha membolak balikkan hati, Allah Sang pemberi hidayah, serta atas izinNya pulalah seseorang bisa mejadi baik atau buruk. 
Akhirul kalam, sesungguhnya mendidik itu dididik.