Tak terasa, satu setengah tahun sudah hidupku
kuabdikan di pondok pesantren. Menjalani hari-hari sebagai guru juga pembina di
asrama. Rasanya waktu yang tidak sebentar itu belum juga membuatku mampu memecahkan banyak teka teki dalam
permasalahan anak didik. Kadangkala aku merasa jenuh dan hampir putus asa.
Namun sejauh ini perasaan itu masih bisa kutepis seiring mencuatnya harapan.
Bagaimana tidak? Tugas yang sedang kuemban ini merupakan tugas yang cukup
berat, metode didikan yang dipilih serta dijalankan akan berpengaruh pada
perkembangan mereka ke depan. Sebagai pengganti orang tua, banyak hal yang
mestinya mampu kulakukan untuk memenuhi hak mereka. Mengingat kita yang berada
di zaman serba canggih dan modern, di sana sini banyak sekali persimpangan yang
sewaktu-waktu bisa saja menyesatkan masa depan mereka.
Teman,
aku baru sadar, menjadi pendidik bukanlah sebuah tanggung jawab yang gampangan.
Apalagi anak didik yang sedang kita hadapi berada pada titik labil atau
pubertas. Kalaulah kita salah penanganan maka bisa ditebak bagaimana sulitnya
mereka ketika telah dewasa. Aku sungguh tak mampu membayangkan itu. Jika mereka
dididik secara keras, bisa jadi nantinya mereka
tumbuh dengan jiwa yang penuh pemberontakan, atau jiwa-jiwa yang penuh dengan rasa tak percaya
diri. Jika mereka dididik dengan sangat longar, maka bisa jadi nantinya mereka
hidup tanpa punya pegangan prinsip.
Melihat
apa yang sedang kuhadapi akhir-akhir ini, melihat bagaimana anak didikku
belakangan ini, agaknya aku perlu
mempertanyakan satu hal pada diriku sendiri. Apakah aku ini sudah layak disebut
pendidik? Yang kutau, teori selama ini mengatakan pendidik adalah orang yang
mampu melakukan transfer ilmu juga nilai-nilai terhadap anak didiknya. Untuk tugas
itu, pendidik –katanya- mesti mempunyai banyak kompetensi. Kompetensi
pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian. Ya sederhananya punya
kepribadian bagus, kreatif, mengetahui ilmu pendidikan, serta mampu menjalin
hubungan sosial yang baik dengan anak didik. Nah, sebagai intropeksi saja, bagaimana
dengan kompetensi yang kupunya ya? J
Kadangkala
kita –pendidik- ada yang cendrung bersikap menyalahkan diri atas kegagalan
pendidikan. Di lain tempat ada pula yang masih saja sibuk mencari objek yang
bisa disalahkan atas kegagalan tersebut. Keluarga-lah yang salah, atau sistem
pendidikan-lah yang ndak bener serta banyak hal lainnya yang selalu
dijadikan tameng. Kalaulah kita
saling menyalahkan, maka sampai kapan pun urusan ini takkan pernah selesai.
Karena tidak hanya keluarga yang patut bertanggung jawab, tidak hanya guru, pun
tidak system saja, tapi semua komponen tersebut punya andil dalam menentukan suksesnya
tujuan pendidikan. Semua komponen mestinya harus mampu berkolaborasi dan bersinergi dengan keselarasan
visi agar si objek –anak didik- tumbuh menjadi
manusia sesungguhnya seperti yang bangsa serta agama ini inginkan.
Lalu,
tidakkah muncul pertanyaan di benak kita? Kira-kira apakah yang menjadi indikator
keberhasilan pendidikan tersebut? Ya, seperti yang sudah dijelaskan di atas,
mendidik meliputi dua hal penting, yaitu transfer ilmu dan transfer nilai. Mendidik
sangat berbeda dengan mengajar. Mengajar memiliki ruang lingkup yang lebih
kecil dibandingkan mendidik, hal itu dikarenakan mengajar hanya menitikberatkan
pada transfer ilmu pengetahuan dari pendidik ke anak didik saja tanpa
memperhatikan nilai-nilai atau value . Lalu bagaimana dengan akhlak
serta attitude anak didik kita? Rasululullah sang guru besar diutus oleh
Allah kepada umat islam dengan mengemban tugas penting di pundaknya yaitu
memperbaiki akhlak manusia. Itu artinya akhlak merupakan hal pokok yang tidak
boleh ditinggalkan dalam dunia pendidikan. Meskipun tidak ada mata perlajaran
akhlak, tapi ia harus dimasukkan ke dalam kurikulum, dalam dunia pendidikan itulah
yang disebut sebagai hidden curriculum.
Bagiku,
untuk anak didikku, akhlak adalah hal utama yang selalu kutekankan. Apa artinya
kepintaran intelegensi yang dimiliki tanpa dibarengi akhlak yang bagus. Semua
akan menjadi sia-sia jika dengan orang tua, guru, serta masyarakat ia tak mampu
menempatkan diri dengan baik. Bagaimana hubungan dengan Allah-nya nanti jika
hubungan dengan sesama manusia-nya tidak berjalan mulus seperti yang
dituntunkan. Kupikir, inilah amanah paling besar yang akan kupertanggung
jawabkan nanti di sisi-NYA sebagai seorang pendidik.
-sekeping coretan hati-
Setelah menganalisa keadaan serta peristiwa yang sudah terjadi, pun sudah
lama menimbang serta mengukur diri, agaknya yang perlu kulakukan adalah selalu
berusaha meningkatkan kompetensi yang kupunya. Tak boleh puas dengan apa yang
telah ada. Cari wawasan lagi, belajar dari senior biar ada pemancing
kreativitas. Banyak-banyak menengadah tangan,menundukkan hati, biar Tuhan
menunjukkan banyak jalan. Pokoknya jangan sampai harapan ini pupus begitu saja. Pasti ada cara untuk berhasil,
tak sekarang mungkin nanti. Karena yang selalu kucoba yakini adalah gagal
bukanlah sebuah akhir.
Semoga menjadi renungan…..
###
Syair untukmu, Ananda
Tak terasa pertemuan kita tlah lama
Merapat dalam ukhuwah terindah
Merajut jalinan kasih antar sesama
Kita bercerita, tertawa,
Bersenandung dalam duka gembira
Di hati ini terselip rindu padamu
Di hati ini ada sayang yang tertahan
Berharap menyapa dengan cinta
Bertatap dengan bahasa penuh sahaja
Jika begitu,
Haruskah kita menjeda kasih?
Marah umi, adalah harapan yang mengakar pada
cinta
Demimu… masa depanmu….
Ananda..
Kamar
sunyi, 2013