Selasa, 21 Juni 2011

Monster-Monster di Mulutku



Subuh. Azan sedang berkumandang. Aku mendongak bangun dari tempat tidur. Berlari aku menuju kamar mandi. Kucuci m
uka. Kugosok gigi. Tapi, terasa ada yang menonjol pada daging rongga mulutku. Kugapai ke dalam. Sedikit lagi ke dalam. Ah. Sial.
Aku kesal. Mulutku ini seringkali ditumbuhi sariawan-sariawan yang membandel. Kadang tak tanggung-tanggung. Satu, dua, bahkan tiga sariawan berdomisili di mulutku. Di gusiku. Bahkan di lidahku. Sungguh menyebalkan.
Aku sangat benci dengan sariawan-sariawan ini. Bentuknya yang bulat, kadang memanjang, kadang sama sekali tak beraturan bentuknya, bahkan ada lobang yang memutih di tengahnya. Keberadaannya sungguh membuat sakit di mulutku. Jika dia tumbuh besar. Maka aku merasa sangat kesulitan berbicara.
Aku memang tipikal manusia pemalas minum. Jadi wajar saja. Aku bahkan bisa bertahan berhari-hari tak minum. Aneh memang. Jika sampai sekarang aku masih hidup, itu berarti keajaiban. Aku juga tak suka makan buah dan sayur. Mungkin karena itulah sariawan sangat suka tumbuh dan menetap di mulutku.
* * *
Seminggu kemudian
Kembali, aku beranjak bangun dari tidur. Aku merasakan sakit di mulutku. Benar saja. Sariawan kecil baru saja tumbuh. Ia tumbuh pada daging bagian bibir atasku yang kanan. Dia kemudian makin membesar. Membesar. Hingga akhirnya menjadi sangat besar. Akibatnya mulutku bagian atas menjadi sedikit tongos ke depan mencapai satu sentimeter. Aku merasa kesulitan ketika hendak menutup bibir. Tebal sekali bibirku. Sekelilingnya memerah. Seolah aku telah memakaikan gincu ke sana.
Pada hari ini aku ada jadwal membaca puisi di hadapan teman-teman dan guru. Aku merasa tidak sanggup membawa bibir tongos ini ke depan kelas. Pastilah keadaan ini akan mengundang tawa. Aku tau betul dengan kelakuan warga lokalku yang suka mencemooh. Sedikit keanehan mampu mengundang meraka untuk tertawa.
Tapi sudahlah. Aku pikir lebih baik datang. Biarkan saja mereka tertawa riang. Toh, itu berarti aku telah berhasil membuat perasaan mereka menjadi senang. Dan yang paling penting aku bisa tampil melaksanakan tugasku hari ini. Untuk masalah yang ruwet satu ini, aku bisa membawa sapu tangan untuk menutupi bagian atas bibirku yang sedang dilanda derita.
Nah. Benar sekali dugaanku bukan. Baru saja aku melangkahkan kaki ke dalam kelas. Semua mulai bertanya-tanya ke arahku. Terlebih rombongan geng si Badin. Mereka memang selalu antusias untuk membuat orang mati kutu dan malu. Dasar.
“ Kenapa bibirmu Tong? Digigit serangga ya?” Tanya si badin. Badin bisa dibilang sebagai kepala bidang kelompok pencemooh. Sedikit-sedikit cemooh. Ada saja yang ingin dikomentarinya. Kadang sampai membuat orang sakit hati.
“ Otong ompong kali” si Rudi menyambung dari belakang. Sebagai ajudan si Badin, tentu saja dia satu paradigma dengannya. Mereka sahut menyahut, mereka-reka atas apa yang terjadi pada bibirku.
“ Terserah kalian lah.” Aku menanggapi santai.
Hingga kemudian Bu Siska masuk kelas. untuk teman-teman ketahui, Bu Siska adalah guru bahasa indonesiaku. Orangnya tinggi semampai. Tampilannya acak-acakan. Jilbab dipasang seadanya saja. Tanpa bros jilbab untuk menghiasi jilbabnya yang kadang tak disetrika. Tidak hanya itu, baju, jilbab, dan roknya kadang tidak senada warnanya. Kadang jilbab pink, baju kuning, rok item. Bener-bener deh guruku satu ini. Yang paling tidak aku suka itu, Bu Siska orangnya suka nyengir. Nyengir untuk menanggapi pertanyaan siswa yang rada bloon. Seolah-olah dia mengatakan, “masa itu saja tidak tau.” Memang menyebalkan. Tapi jangan salah. Dia memang top di bidang keilmuwannya. Seperangkat EYD bahasa Indonesia tersimpan apik di kepalanya. Kuakui, sebagai guru wawasan dan ilmunya bisa dibilang luar biasa luasnya.
Baiklah kucukupkan tentang Bu Siska. Lanjut. Akhirnya aku maju ke depan untuk membacakan puisiku. Puisi yang kugubah dengan pencitraan seadanya. Sambil menutup mulut, aku teruskan membacakan puisi. Bait demi bait. Berintonasi dengan irama dan tekanan-tekanan suara sebisaku. Tapi, tiba-tiba semua orang protes. Katanya gak jelas.
“Macam bergumam saja dia.” Lagi-lagi badin memulai hobinya. Meledek.
Dengan ragu-ragu kujauhkan sapu tangan dari mulutku. Semua demi kemaslahatan umat, eh maaf, kemashlahatan warga lokal. Dan,
“ha ha ha ha” mereka tertawa bersama-sama.
Terdengar tawa di sana sini. Kulirik Bu Siska. Aku berharap dia tak ikut tertawa melihatku. Tapi dugaanku salah. Bu Siska ternyata paling besar ketawanya. Separoh gigi atasnya keluar. Sampai jilbabnya pun peyat-peyot. Parah.
Cepat-cepat aku berlari ke kamar mandi. Aku berkaca. Kulihat bibirku. Ya ampun, pantas saja mereka tertawa. Karena ternyata bibirku makin dower bagian atasnya. Sariawan raksasa yang baru tadi pagi tumbuh, rupanya telah beranak pinak. Ada sariawan kecil di samping kanan dan kirinya. Dan kurasa sekarang bibirku benar-benar telah hancur.
Tanpa izin aku langsung pulang. Kupacu sepeda motorku. Sampai di rumah, langsung saja kutuju dapur. Kuambil cabe. Kupatahkan. Kemudian kugosokkan cabe itu ke sariawan. Kugisakan. Alhasil, aku melompat-lompat kepedasan. Keperihan. Naudzubillah. namun aku wajib bersikap zhalim pada sariawan pengganggu ini.
Aku masih tak puas dengan itu. Kuambil sikat gigi, kugosok dengan sikat gigi. Kulihat ada cairan merah di sekitar bibir kananku. Ya. Darah telah mengalir banyak. Merembes menuju sela-sela gigiku. Cepat-cepat kuberkumur. Dan air pun berubah menjadi merah.. Mataku berkaca-kaca. Dengan tangis yang tersekat aku berkata. “Aku puas. Mati kau sariawan”. Dari kaca aku dapat melihat. Bibirku hancur. Semakin dower ke depan. Ya tuhaaan. Aku benci sariawan ini. ***padang, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar