Katanya,
keterpurukan mampu diubah menjadi energi
yang luar biasa jika power kebijaksanaan diaktifkan. Katanya, roda kegagalan mampu diputar menjadi
kesuksesan melalui usaha, ketekunan, dan kedisiplinan. Katanya penderitaan akan
berlalu indah jika dinikmati dengan penuh kesabaran. Katanya, dan aku pun
sebenarnya percaya itu!
Dan, “katanya” itulah yang selalu memicu semangatku untuk
berubah, mencoba dan selalu mencoba untuk bangkit dari kegagalan. Menjadikan
keterpurukan sebagai batu loncatan menuju sukses yang gemilang. Aku rela
mempertaruhkan diriku bertarung dengan dirinya sendiri selama bertahun-tahun agar
nantinya tecipta keselarasan antara logika dan perasaan. Bertahun-tahun pula
aku berusaha membuka mata agar mampu melihat dunia serta mampu membedakan mana
khayal dan mana kenyataan. Selama itu, kupikir hidupku hanya untuk itu, yaitu
bangkit.
* * *
Aku sungguh tidak percaya! Selama ini aku selalu
memandang sinis pada orang-orang yang dibutakan oleh cinta. “terlalu klise!”
begitu menurutku. Mereka yang rela menggantung diri ke tiang gantungan untuk
membunuh diri mereka sendiri, mereka yang sampai hilang kendali hingga berani
memotong urat nadi demi mengakhiri sebuah masalah yang menurut mereka takkan
mampu terpecahkan. Mereka yang menjadi gila dan tak waras hingga tertawa-tawa
dan menangis sendiri di jalanan seraya menyebut-nyebut nama kekasihnya. Ya, itulah
mereka. mereka itu buta. Dan.
“ Aku, kini aku juga buta.”
Seiring waktu berlalu. Mulailah aku mengenal dan
diperkenalkan kepada sang cinta. Aku terlau haru mengharu biru. Bertabuh-tabuh di
hatiku. Langit kelabu seketika menjadi merah jambu. Tak ada yang tau kuncup-kuncup
bunga telah bertumbuh di hatiku yang
pemalu. hingga bunga-bunga itu bermekaran, hingga cinta mampu mengubahku
menjadi gadis berani. Mengenalnya, berceritera dengannya, bercanda dengannya,
membuatku sungguh lupa segalanya. Tanpa kusadar sinisme-ku dahulu kini
dipanahkan pada diriku sendiri.
aku heran, dan selalu menanyakan kepada Tuhan. Mengapa
aku ditakdirkan mengenal lelaki yang salah saat pertama kalinya aku mulai
merasakan sari madu cinta?
Ya, kurasa aku tak mampu
melukiskan segala beban dan penderitaan yang kualami dalam tulisan ini. aku
telah lama membuangnya jauh. Sebagian
telah kulempar ke dasar jurang terdalam
di muka bumi, sebagian yang lain telah kumasukkan ke dalam puncak gunung berapi
biar hangus terbakar . Dan aku tidak mungkin mengambil serta menyuguhkannya
kembali di sini. Sekarang yang tersisa padaku hanyalah butiran-butiran rasa sakit
yang belum sepenuhnya mampu kutawari dengan kesabaran dan kemaafan.
* * *
Bukannya berlebihan, tapi
begitulah adanya, bahwa aku sempat mengalami kejatuhan yang demikian parah. Hingga merasa tak mampu mengendalikan diriku sendiri. Hilang arah,
hilang panduan, hilang semuanya kurasa. Pada saat itu, aku hanya berpikir,
“saat ini telah kutemui titik nadirku. Aku akan mati perlahan dengan cara yang mengenaskan.”
Mungkin tiada yang tau
parahnya aku saat itu, termasuk sahabat dan orang tuaku. Mereka-secara
otomatis- seperti beralih ke posisi dahulu, menantapku dengan sinisme yang
tinggi. Seolah mencibirku dengan mengatakan, “ masa masalah itu saja dipikirkan?
Lupakan saja dia, dan nanti kamu pasti akan menemui seseorang yang tepat dan
lebih baik dari dia.” Ya, kuakui mereka mengatakan hal yang benar, tapi untuk
posisiku yang tengah di ujung tanduk, sikap care yang seperti itu sangat
amat tidak tepat menurutku.
“Baiklah, akan kutemukan caraku sendiri!”
Kubalaskan dendamku dengan berbagai cara. Menangis. Menyibukkan
diri dengan hal-hal positif. Dan lain sebagainya. Hasilnya? Wow, luar biasa. Sepertinya
Tuhan memang sengaja mengajariku dengan cara yang ganas ini. Agar aku menjadi
hambanya yang kuat lagi tahan banting.
Tapi ada satu
hal yang sedikit membuatku terganggu. Oke, sekarang aku sudah bisa jauh dari rasa cinta dan
benci terhadap lelaki itu. Oke, aku sudah
melewati masa kritis dalam hidupku. Oke, aku sudah bisa menjalani hari-hari dengan normal
lagi. Tapi kok, kadangkala, dia muncul lagi sih dalam benakku. Gambarnya
hilang timbul ibarat televisi kurang signal. Berkali-kali juga kukoarkan
kalimat ini ke dalam hatiku, “Memaafkan bukan berarti melupakan seutuhnya, upa”
bahkan kuulangi membaca kalimat itu sampai aku lelah. Tapi ya, butuh waktu lama
sepertinya dimana aku bener-bener free dari namanya. I still waiting
for that time.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar