Rabu, 13 Februari 2013

BUTIRAN DEBU


Katanya, keterpurukan mampu diubah menjadi  energi yang luar biasa jika power kebijaksanaan diaktifkan. Katanya, roda kegagalan mampu diputar menjadi kesuksesan melalui usaha, ketekunan, dan kedisiplinan. Katanya penderitaan akan berlalu indah jika dinikmati dengan penuh kesabaran. Katanya, dan aku pun sebenarnya percaya itu!

Dan, “katanya” itulah yang selalu memicu semangatku untuk berubah, mencoba dan selalu mencoba untuk bangkit dari kegagalan. Menjadikan keterpurukan sebagai batu loncatan menuju sukses yang gemilang. Aku rela mempertaruhkan diriku bertarung dengan dirinya sendiri selama bertahun-tahun agar nantinya tecipta keselarasan antara logika dan perasaan. Bertahun-tahun pula aku berusaha membuka mata agar mampu melihat dunia serta mampu membedakan mana khayal dan mana kenyataan. Selama itu, kupikir hidupku hanya untuk itu, yaitu bangkit.

* * *
Aku sungguh tidak percaya! Selama ini aku selalu memandang sinis pada orang-orang yang dibutakan oleh cinta. “terlalu klise!” begitu menurutku. Mereka yang rela menggantung diri ke tiang gantungan untuk membunuh diri mereka sendiri, mereka yang sampai hilang kendali hingga berani memotong urat nadi demi mengakhiri sebuah masalah yang menurut mereka takkan mampu terpecahkan. Mereka yang menjadi gila dan tak waras hingga tertawa-tawa dan menangis sendiri di jalanan seraya menyebut-nyebut nama kekasihnya. Ya, itulah mereka. mereka itu buta. Dan.

“ Aku, kini aku juga buta.”

Seiring waktu berlalu. Mulailah aku mengenal dan diperkenalkan kepada sang cinta. Aku terlau haru mengharu biru. Bertabuh-tabuh di hatiku. Langit kelabu seketika menjadi merah jambu. Tak ada yang tau kuncup-kuncup bunga telah  bertumbuh di hatiku yang pemalu. hingga bunga-bunga itu bermekaran, hingga cinta mampu mengubahku menjadi gadis berani. Mengenalnya, berceritera dengannya, bercanda dengannya, membuatku sungguh lupa segalanya. Tanpa kusadar sinisme-ku dahulu kini dipanahkan pada diriku sendiri.
aku heran, dan selalu menanyakan kepada Tuhan. Mengapa aku ditakdirkan mengenal lelaki yang salah saat pertama kalinya aku mulai merasakan sari madu cinta?

            Ya, kurasa aku tak mampu melukiskan segala beban dan penderitaan yang kualami dalam tulisan ini. aku telah lama membuangnya jauh.  Sebagian telah kulempar  ke dasar jurang terdalam di muka bumi, sebagian yang lain telah kumasukkan ke dalam puncak gunung berapi biar hangus terbakar . Dan aku tidak mungkin mengambil serta menyuguhkannya kembali di sini. Sekarang yang tersisa padaku hanyalah butiran-butiran rasa sakit yang belum sepenuhnya mampu kutawari dengan kesabaran dan kemaafan.

* * *

            Bukannya berlebihan, tapi begitulah adanya, bahwa aku sempat mengalami kejatuhan yang demikian parah. Hingga merasa tak mampu mengendalikan diriku sendiri. Hilang arah, hilang panduan, hilang semuanya kurasa. Pada saat itu, aku hanya berpikir, “saat ini telah kutemui titik nadirku. Aku akan mati perlahan dengan cara yang mengenaskan.” 

Mungkin tiada yang tau  parahnya aku saat itu, termasuk sahabat dan orang tuaku. Mereka-secara otomatis- seperti beralih ke posisi dahulu, menantapku dengan sinisme yang tinggi. Seolah mencibirku dengan mengatakan, “ masa masalah itu saja dipikirkan? Lupakan saja dia, dan nanti kamu pasti akan menemui seseorang yang tepat dan lebih baik dari dia.” Ya, kuakui mereka mengatakan hal yang benar, tapi untuk posisiku yang tengah di ujung tanduk, sikap care yang seperti itu sangat amat tidak tepat menurutku. 

“Baiklah, akan kutemukan caraku sendiri!”

Kubalaskan dendamku dengan berbagai cara. Menangis. Menyibukkan diri dengan hal-hal positif. Dan lain sebagainya. Hasilnya? Wow, luar biasa. Sepertinya Tuhan memang sengaja mengajariku dengan cara yang ganas ini. Agar aku menjadi hambanya yang kuat lagi tahan banting. 

Tapi ada satu hal yang sedikit membuatku terganggu. Oke, sekarang aku sudah bisa jauh dari rasa cinta dan benci terhadap lelaki itu. Oke, aku sudah melewati masa kritis dalam hidupku. Oke, aku sudah bisa menjalani hari-hari dengan normal lagi. Tapi kok, kadangkala, dia muncul lagi sih dalam benakku. Gambarnya hilang timbul ibarat televisi kurang signal. Berkali-kali juga kukoarkan kalimat ini ke dalam hatiku, “Memaafkan bukan berarti melupakan seutuhnya, upa” bahkan kuulangi membaca kalimat itu sampai aku lelah. Tapi ya, butuh waktu lama sepertinya dimana aku bener-bener free dari namanya. I still waiting for that time.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar