Minggu kemarin aku mengikuti diskusi karya tulis. Diskusi ini adalah diskusi rutin yang diadakan satu kali dalam dua minggu. Semua peserta berasal dari kalangan penulis. Dari penulis pemula sampai penulis senior yang sudah banyak menerbitkan tulisannya di media lokal maupun nasional.
Seperti minggu-minggu sebelumnya, kegiatan
ini akan diwarnai oleh pembacaan tulisan -secara bergiliran- oleh masing-masing penulis (yang membawa karya), kemudian setelah itu para peserta akan diberi kesempatan seluasnya-luasnya untuk mengeluarkan argumen serta kritikan mereka terkait karya-karya yang sedang dibedah atau didiskusikan tersebut.
Kebetulan, pada saat itu karyaku lah yang menjadi karya pertama yang harus dibedah (karena memang akulah satu-satunya yang membawa karya). Karya yang kubawa berupa satu cerpen dan tiga puisi.
Aku langsung merasa deg-degan. Jantungku berdegup kencang. Entah mengapa, aku merasa tulisanku ini akan menuai kritik tajam.
Setelah cerpen itu kubaca habis. Salah seorang abang senior mengangkat tangannya untuk memberi komentar. Abang tersebut mengatakan bahwa tulisanku ini tidak mampu menjiwai isinya. (untuk diketahui, cerpen yang kubawa menceritakan tentang seorang mahasiswa kedokteran yang ingin mewujudkan mimpinya menjadi motivator). Abang tersebut kemudian mempertanyakan pula latar belakang pendidikanku. Spontan saja kujawab, bahwa aku bukanlah mahasiswa kedokteran. Menurutnya di dalam cerpen ini tidak begitu tampak keadaan serta kondisi di mana tokohnya itu seorang dokter. Yah, hatiku jadi tertohok. Padahal aku sudah berusaha melakukan survei dan bertanya-tanya kepada seorang teman yang kuliah di fakultas kedokteran.
Kemudian setelah itu, abang yang lain pun ingin memberi komentar. Wah, abang yang satu ini benar-benar membuatku tertunduk malu. Menurutnya tulisanku banyak menampilkan kesalahan-kesalahan yang tak bisa ditolerir. Mulai dari kesalahan EYD sampai konten bacaan yang dinilai sangat simpel dan kurang berkualitas
Pada saat itu, kurasakan wajahku memanas. Hatiku meredup sedih. Aku tak dapat lagi mengidentifikasi perasaanku saat itu. Apakah sedih, geram, atau malu. Sepertinya semuanya telah bercampur menjadi satu.
Tak puas sampai di situ. Ternyata setelah itu ada lagi seorang abang yang mengomentari tulisan malangku itu. Yang ini pun tak kalah pedihnya dari komentar sebelumnya. Selain tulisanku yang dinilai tak berkualitas, Abang ini juga mengatakan bahwa tulisanku layaknya dibuang saja. Parah.
Aku kian sedih, rasanya entah kemana mau kuarahkan wajah ini. ingin rasanya aku berlari keluar. Tapi mau bagaimana, bagaimanapun aku harus rela tertawan dalam lingkar diskusi yang kian panas itu.
Sesaat, aku mencoba berpositif thinking. Mungkin saja abang-abang ini menginginkan agar aku terus meningkatkan kualitas tulisan. Mereka ingin adiknya mampu menghasilkan tulisan yang layak untuk dipublikasikan. Ya, Hanya dengan berfikir seperti itulah hatiku merasa sedikit tenang.
Aku masih ingat, dahulu aku pernah protes kepada seorang abang terkait gaya mengkritik ini. Bagiku, kritikan seperti ini akan menuai dua efek yang bertolak belakang. Pertama, seseorang akan merasa terpecut semangatnya untuk menghasilkan tulisan yang bagus. Kedua, seseorang akan merasa dipatahkan sehingga dia tak mau lagi menulis. Pada saat itu, Abang tersebut hanya menjawab dengan satu kalimat saja, “ Berarti kepiran-kepiran pemikiranmu masih kecil, dik.” Aku menjadi terdiam, tak berani lagi protes. Aku hanya berusaha menafsirkan kalimat itu sendiri di benakku. **Kamar Sepi, Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar