Adakalanya enggan untuk mengutarakan kepiran dari sebuah pemikiran. Karena pembaca kadangkala terlalu bebas menafsirkan. Bukan salah mereka memang. Seperti ungkapan, "pembaca bebas mengartikan maksud penulis"
Namun harus difahami, bahwa hanya si penulislah yang memiliki makna itu (makna asli).
Beratnya, ketika sebuah tulisan yang sifatnya sebuah "kasus" dipublikasikan. Banyak muncul spekulasi miring yang mengarah tajam kepada si penulis. Ih, itu jelas banget penulisnya lagi curhat.
Parahnya, sampai nunjukin sikap yang underestimate pada si penulis. Bahkan nulis komentar ngejudge yang bikin kita mau istighfar ribuan kali.
Memang sih itu haknya pembaca. Bagi yang nulis ga ada ruginya juga. Tapi kasihan pembacanya jadi habis energi plus dapat dosa. So, jadilah pembaca yang cerdas. Mau tulisannya based on true story atau ga, itu ga penting. Yang utama itu, kamu dapat pelajaran tidak dari tulisannya. Jangan malah sibuk mikirin ini curhat apa ga. Kan "انظر ما قال ولا تنظر من قال"
Ya ga ngerti arab, tafadhol search di google ya. Sekalian dapat ilmu bahasa arab juga dari tulisan ini. Semoga ga ada lagi yang mikir kalau tulisan ini curhat ya. Kalau masih ada, yaaah! Mau dikasih tau dengan cara apa lagi ya?
Sabtu, 09 November 2019
Buah Hatiku, Asetku Paling Berharga
Saya melihat masing-masing keluarga menginginkan"goals" yang berbeda dalam mengasuh dan mendidik anak-anak mereka. Ada yang ingin menjadikan anaknya ahli sains, ada yang ingin anaknya unggul di bidang sosial, dan ada pula yang ingin anaknya mahir berbahasa asing. Dan lain-lainnya.
Apapun pilihannya, itu jelas sah-sah saja. Toh memang sudah menjadi haknya orang tua mau menjadikan anaknya seperti apa.
Namun, yang menjadi turning point saya di sini bukanlah itu. Sebagai orang tua yang newbe. Saya sekarang masih banyak meraba, masih terus membaca, serta mengamati beragam pengalaman orang tua lain yang bisa dibilang sukses, jika kita melihat dari indikator yang ingin saya bagi di sini.
Anak yang dititipkan allah di rahim kita bukan hanya sebagai rezeki yang selalu kita syukuri. Namun lebih dari itu, si anak ini adalah amanah besar yang bersamanya ada tanggung jawab yang besar pula untuk orang tuanya.
Mau jadi apa si anak kelak, orang tualah yang menjadi pengarahnya.
Jika obsesi orang tua sebatas dunia, biasanya anak-anaknya juga akan diarahkan kepada hal-hal yang bersifat duniawi pula. Namun, jika obsesi orang tua dunia dan akhirat. Maka anak-anak yang berada dalam pengasuhannya akan diarahkan pula kepada dua hal tersebut.
Kita sebagai seorang muslim, rugi rasanya jika kita memilih pilihan yang pertama. Sedang anak ini adalah aset kita, tak hanya di dunia tapi juga untuk akhirat. Tersebab aset ini, maka semenjak memilih calon ayah ataupun ibu untuk si anak, seorang muslim harus pasang kriteria yang menunjang itu. Sampai anak tersebut dititipkan dalam rahim, aset terus dijaga. Si ibu berusaha memakan makanan yang halalan thoyyiba. Mendengarkan yang baik-baik saja. Rajin ibadah dan melakukan hal baik lainnya. Terus, saat tiba waktu menyusui. Ibu pun berusaha memberikan bayinya asi yang didalamnya mengandung kualitas makanan terbaik dari makanan yang diperoleh secara halal.
Terkait hal ini saya teringat ucapan seorang ustadz dalam sebuah kajian. Bahkan asi yang diberikan pada anak bisa menjadi amalan jariyah untuk orang tua kelak. Karena asi yang diminum itu akan menjadi komponen untuk membentuk otot si anak, atau bisa juga menjadi asupan untuk perkembangan otaknya. Jika nanti si anak tumbuh menjadi pribadi yang sholeh, maka asi yang sudah menyatu di dalam daging dan tubuhnya akan digunakan untuk melakukan hal hal baik, yang pahalanya tidak hanya untuk si anak tetapi mengalir untuk ibu dan ayahnya juga. Ibu makan dari rezeki yang diusahakan si ayah, kemudian ada asi, yang secara rutin diberikan kepada anak hingga dua tahun umurnya.
Kemudian, saat tiba masanya mereka batita dan kanak-kanak. Di sinilah segala upaya terbaik harus dilakukan orang tua.
Bagi anak saya, yang saat ini berusia dua tahun. Masa bayi hingga menjelang dua tahun ini adalah masa meyerap paling baik. Karena setelah itu, saya saksikan begitu banyak perilaku anak saya yang ia tampilkan sesuai dengan apa yang sudah ia amati di masa sebelumnya.
Kami banyak mendapatkan kejutan di dua tahun ini. Karena tiba-tiba saja dia udah bisa ini, dia bisa itu dan lain-lainnya.
Oke. Kami berfikir inilah saatnya eksekusi metode terbaik lebih dalam lagi dan lebih kontinu lagi.
Semoga aset ini bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang diharapkan. Tak hanya untuk dunia tapi juga akhirat. Yuk, kita sama-sama berusaha dan berupaya. Berpayah-payah dahulu, panen pahala kemudian.* Padang, 2019
Apapun pilihannya, itu jelas sah-sah saja. Toh memang sudah menjadi haknya orang tua mau menjadikan anaknya seperti apa.
Namun, yang menjadi turning point saya di sini bukanlah itu. Sebagai orang tua yang newbe. Saya sekarang masih banyak meraba, masih terus membaca, serta mengamati beragam pengalaman orang tua lain yang bisa dibilang sukses, jika kita melihat dari indikator yang ingin saya bagi di sini.
Anak yang dititipkan allah di rahim kita bukan hanya sebagai rezeki yang selalu kita syukuri. Namun lebih dari itu, si anak ini adalah amanah besar yang bersamanya ada tanggung jawab yang besar pula untuk orang tuanya.
Mau jadi apa si anak kelak, orang tualah yang menjadi pengarahnya.
Jika obsesi orang tua sebatas dunia, biasanya anak-anaknya juga akan diarahkan kepada hal-hal yang bersifat duniawi pula. Namun, jika obsesi orang tua dunia dan akhirat. Maka anak-anak yang berada dalam pengasuhannya akan diarahkan pula kepada dua hal tersebut.
Kita sebagai seorang muslim, rugi rasanya jika kita memilih pilihan yang pertama. Sedang anak ini adalah aset kita, tak hanya di dunia tapi juga untuk akhirat. Tersebab aset ini, maka semenjak memilih calon ayah ataupun ibu untuk si anak, seorang muslim harus pasang kriteria yang menunjang itu. Sampai anak tersebut dititipkan dalam rahim, aset terus dijaga. Si ibu berusaha memakan makanan yang halalan thoyyiba. Mendengarkan yang baik-baik saja. Rajin ibadah dan melakukan hal baik lainnya. Terus, saat tiba waktu menyusui. Ibu pun berusaha memberikan bayinya asi yang didalamnya mengandung kualitas makanan terbaik dari makanan yang diperoleh secara halal.
Terkait hal ini saya teringat ucapan seorang ustadz dalam sebuah kajian. Bahkan asi yang diberikan pada anak bisa menjadi amalan jariyah untuk orang tua kelak. Karena asi yang diminum itu akan menjadi komponen untuk membentuk otot si anak, atau bisa juga menjadi asupan untuk perkembangan otaknya. Jika nanti si anak tumbuh menjadi pribadi yang sholeh, maka asi yang sudah menyatu di dalam daging dan tubuhnya akan digunakan untuk melakukan hal hal baik, yang pahalanya tidak hanya untuk si anak tetapi mengalir untuk ibu dan ayahnya juga. Ibu makan dari rezeki yang diusahakan si ayah, kemudian ada asi, yang secara rutin diberikan kepada anak hingga dua tahun umurnya.
Kemudian, saat tiba masanya mereka batita dan kanak-kanak. Di sinilah segala upaya terbaik harus dilakukan orang tua.
Bagi anak saya, yang saat ini berusia dua tahun. Masa bayi hingga menjelang dua tahun ini adalah masa meyerap paling baik. Karena setelah itu, saya saksikan begitu banyak perilaku anak saya yang ia tampilkan sesuai dengan apa yang sudah ia amati di masa sebelumnya.
Kami banyak mendapatkan kejutan di dua tahun ini. Karena tiba-tiba saja dia udah bisa ini, dia bisa itu dan lain-lainnya.
Oke. Kami berfikir inilah saatnya eksekusi metode terbaik lebih dalam lagi dan lebih kontinu lagi.
Semoga aset ini bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang diharapkan. Tak hanya untuk dunia tapi juga akhirat. Yuk, kita sama-sama berusaha dan berupaya. Berpayah-payah dahulu, panen pahala kemudian.* Padang, 2019
Langganan:
Postingan (Atom)