Rabu, 29 November 2023

Trying to manage myself, again

Lelah. 
Aku pun melarikan pandanganku keluar jendela.  Ada hamparan sawah dengan benih padi yang baru saja tumbuh. Masa tanam ini sudah harus dimulai karena 6 bulan lagi ramadhan datang. Dan mesti padi baru, beras baru untuk bulan yang penuh haru. 

Aku ingin melemparkan pandangan ini lebih jauh lagi, petakan sawah yang luas itu dibatasi oleh gedung kampus serta beberapa rumah penduduk. Di sisi yang lain berbatasan dengan sepenggal bebukitan yang menjadi penyejuk kota yang gersang ini. Aku bersyukur atas keberadaan semua itu. Karena masih ada ruang damai di hiruk pikuknya suasana perkotaan. 

Di langit lepas, aku menyaksikan burung-burung putih berkaki panjang terbang indah, yang kemudian menukik turun dan berjalan di tengah sawah berlumpur sambil mencari sesuatu untuk mengisi kekosongan perutnya. MasyaAllah, indahnya. 

Semua objek yang kulihat di luar sana menggiringku untuk keluar dari penjara pemikiranku sendiri.  Seolah aku telah disadarkan dari hibernasiku yang panjang, bahwa ternyata selama ini aku masih sibuk dengan komponen diriku sendiri. Sibuk dengan perspekstif sendiri, ekspektasi sendiri, standarisasi sendiri, sehingga yang tampak dari luar adalah betapa dominannya aku dalam segala hal. 
Dan sikap dominan inilah yang menjadi penyebab hadirnya masalah di banyak sisi.

Akulah si paling peduli pada semuanya, hanya aku yang tau segala treatment terbaik. Padahal pada kenyataannya aku mengabaikan hal paling penting dari semua kepentingan yang ada. Mengabaikan orang-orang terdekatku, perasaan mereka, kebutuhan mereka. 
Dan kesibukan di alam pikiran ini membuatku selalu merasa sibuk, padahal aku belum melakukan apa-apa. Aku bahkan belum menginjakkan kaki di titik nol sebagai pijakan untuk memulai langkah. 

Ya Robb, sebegitu pentingnya "me time" Itu di hidupku. Ya, salah satu penyebab yang menggeser keseimbangan ini adalah karena aku kehilangan waktu untuk diriku sendiri. Lagi lagi soal diri sendiri. Tapi ya, apapun yang kulakukan saat ini tidak menghadirkan diriku yang sesungguhnya. Aku dan kekosongan diriku telah membuat gesekan di mana-mana, melukai siapapun yang berada di dekatku. 

Sungguh tak ada lagi sisa waktu dari 24 jam itu untukku. Bangun pagi, kerja, kerja, kerja, pulang di sore hari, kerja kerja, lalu tanpa kusadari akan kudapati diriku lagi bangun esok hari untuk bersiap bekerja kembali. 
Tak ada ruang hanya untuk sekedar berbincang dengan diri , mengevaluasi diri, lalu menstabilkan kembali semangat yang mulai turun.

Berharap tulisan ini menjadi titik awal aku melangkah untuk mencapai keseimbangan hidupku seperti dulu lagi. Agar aku tak banyak melukai. 
Tampaknya corona yang mewabah dua tahun lalu belum sepenuhnya mampu mengedukasi masyarakat tentang pentingnya sadari atau sadar diri saat sakit. Mengapa demikian? Karena masih banyak ditemukan orang-orang yang sakit-yang disebabkan virus- berseliweran di mana-mana tanpa masker, bahkan untuk sakit  kategori berat pun masih belum mau menahan diri untuk tidak keluar rumah sementara. Apakah jenis virus hanya corona saja? Bukankah masyarakat yang sudah teredukasi ini sudah mengetahui bahwa sangat banyak jenis virus di luar sana yang siap menyebar jika sikap sadari tadi tidak ada. 
Memang, tertular atau tidaknya kita oleh suatu penyakit adalah kehendak Allah. Namun, hal tersebut bukan berarti menafikan sebuah usaha untuk tetap memikirkan kemaslahatan bersama di atas ego sendiri. Wallahu a'lam