Jumat, 30 Agustus 2024

Diary ibu ; Ketika Wabah Menjangkiti

Cacar air kembali mewabah. Alhamdulillah anakku kebagian juga. Anak sulung, yang sedang menempuh pendidikan Sekolah dasar. Sebelumnya hampir separuh teman kelasnya yang libur disebabkan penyakit serupa. Wali kelas mengirimkan informasi waspada di grup kelas sekaligus mengingatkan orang tua agar anak yang terinfeksi untuk libur dulu. Guru-guru panik memikirkan bagaimana menuntaskan pelajaran, para wali murid lain cemas jika anaknya tertular.
Aku berusaha santai namun tetap memasang kewaspadaan dengan memberikan suplemen tambahan kepada anak-anak. Baru dua bulan lalu kami sekeluarga diserang cacar air . Semuanya tertular, termasuk aku dan suami. Dan dalam otakku, kemungkinan besar anakku tidak akan terinfeksi lagi karena katanya infeksi cacar hanya sekali seumur hidup.
Namun, qadarullah, anakku diserang untuk kedua kalinya. Ternyata Informasi bahwa Infeksi cacar sekali seumur hidup tidak berlaku lagi untuk sekarang ini. Virus sudah mempunyai resistensi terhadap obat atau anti virus yang dulu pernah diberikan. So, tidak ada jaminan kita aman dari serangan virus varicella ini.  Jika imun sedang lemah maka kita berpotensi terinfeksi lagi.
Sebagai ibu dari tiga anak yang masih kecil-kecil. Menangani wabah seperti cacar ini sungguh sulit. Perasaan ibu sangat dimainkan. Tak hanya kerepotan dalam memberi obat, tapi juga menjaga dengan ketat agar anak yang belum terinfeksi  tidak ikut ketularan. Begitu juga menjaga perasaan anak yang sedang diisolasi. Memikirkan bagaimana dia tidak berkecil hati, bagaimana menjaga moodnya agar tidak bosan. Tapi, anak-anak tetaplah anak-anak, mau dikasih pengertian berapa kalipun, akhirnya kebobolan juga. Dan pada akhirnya terjadi juga kontak fisik  dengan saudaranya. Aku faham betul, betapa tidak enaknya di kamar sendirian. Ibu tidak selalu bisa menemani karena adik bayi masih butuh dikeloni. Jikalau saja tubuh bisa dibagi dua, maka akan ibu bagi dua. Tapi mana mungkin.
Lanjut ke kerempongan yang lain. Yaitu pemberian antibiotik setiap 5 jam sekali. Ini benar-benar menguras tenaga dan perasaan. Meski udah diatur sedemikian rapihnya tapi tetap aja akan mengganggu waktu tidur anak. Coba bayangkan, anak lemes, lagi enak-enak tidur dibangunkan. Harus pakai drama dulu, dan kadang pun terpaksa gagal karena obat yang tumpah.
Belum lagi gagalnya  usaha ibu menjaga anak yang lain. Mereka yang akhirnya terinfeksi juga . Di kasus dua bulan lalu itu selisih satu pekan, sepekan abang sakit, adik kedua tertular, sepekan setelah itu adik bungsu pun tertular. Alhamdulillah, libur ibu jadi makin panjang jadi 1 bulan. Dan menjadi lengkaplah segala daya dan upaya. Ibu dan ayah harus menjadi sandaran paling kuat untuk menangani semuanya.
Melalui hari demi hari, minum obat dan oles salep tanpa henti, sembari berharap anak lekas sembuh dan segala bekas di wajah dan badannya bisa hilang menjadi mulus bersih seperti sedia kala.
Note ; Cerita Ini datang dari seorang ibu rumah tangga sekaligus guru di sekolah. Sekarang dikasih libur dulu, menikmati dan tetap mensyukuri segala keadaan. *diary ibu, 2024

Senin, 26 Agustus 2024

Mendidik Dididik

Terkadang kita sebagai orang tua tidak sabar menunggu kesuksesan dari penetrasi nilai yang kita tanamkan pada anak. Kita cenderung menginginkan hasil yang instant dan terlalu egois sebagai orang dewasa sehingga enggan  menikmati proses demi prosesnya . Hari ini mereka dinasehati, besok harus berubah. Hari ini nilai-nilai ditanamkan, besok harus dipraktekkan. And, no excuse! tak ada alasan dan pertentangan. Kita lupa bahwa manusia di sepanjang hidupnya memiliki kesempatan yang luas untuk terus berproses. Tapi kita seolah mengabaikan masa berproses ini. Kita tidak memberikan waktu yang cukup untuk mereka berpikir, merenung, serta bertanya apa dan mengapa. Kita tidak memberikan ruang  untuk mereka belajar mengendalikan diri dan emosi. Kita juga tak memberikan waktu untuk mereka jatuh bangun, jatuh lagi kemudian bangkit lagi dari suatu keterpurukan. Yang mana semua proses ini sangat dibutuhkan untuk kematangan diri mereka di masa depan. 
Asumsi ini tidak serta merta muncul begitu saja. Betapa sering telinga ini mendengar kalimat-kalimat kekecewaan dari mulut orang tua, yang menggambarkan ketidakmampuan anak dalam memperbaiki diri.
 "sudah berkali-kali dibilangin, tidak juga berubah" 
"kamu kok ga ngerti-ngerti sih, yang kamu lakukan ini salah" 
"Patuh aja kok susah, ini baik untuk kamu"
atau dengan bahasa lain yang senada. Yang seolah kita sudah mengusahakan semaksimal mungkin untuk perubahan mereka kepada yang lebih baik. Padahal sebenarnya, kitalah yang belum memberikan mereka waktu untuk berproses. Semakin besar usia anak, tentu pemikirannya berangsur matang. Pikiran dan hati yang jernih akan membantu mereka untuk tau apa yang baik untuk dirinya. Terkadang dia butuh dihargai, bukan didikte. Terkadang dia butuh diajak diskusi untuk membantunya memahami, bukan memaksanya ikut apa yang kita mau tanpa kita tau apa yang dia mau. 
Lagi lagi, mendidik adalah tanggung jawab yang besar. Dan sepertinya kesuksesan dalam mendidik anak adalah sebuah prestise yang besar pula. Namun, memberi beban dan tekanan pada anak demi sebuah kebanggan tidaklah benar. Baik buruknya anak mereka tetaplah anak kita, aset kita yang paling berharga. Tugas kita hanya berusaha dengan terus  menanamkan nilai nilai baik dalam dirinya. Tidak boleh ada kata bosan dalam mendidik. Lakukan terus, baik melalui nasehat ataupun keteladanan. Setelahnya, serahkan semuanya pada Allah. Karena Allahlah yang Maha membolak balikkan hati, Allah Sang pemberi hidayah, serta atas izinNya pulalah seseorang bisa mejadi baik atau buruk. 
Akhirul kalam, sesungguhnya mendidik itu dididik. 

Kamis, 08 Agustus 2024

Ibu ; Catatan Tengah Malam

Keseharianku sederhana, namun berharga. Di rumah, aku perempuan dewasa yang menyandang status sebagai istri dan ibu. Sedangkan di luar, aku adalah guru bagi murid-muridku. 
Dalam 24 jam, 9 jam waktu kuhabiskan di sekolah. 15 jam sisanya di rumah. Secara kasat mata, waktu di rumah lebih panjang daripada di sekolah. Tapi, sebenarnya waktu di rumah sangatlah singkat. Dan dalam kondisiku ini, pulang ke rumah seyogyanya adalah pulang untuk beristirahat. 
Sebagai ibu, walau bekerja di luar, aku tak bisa menghabiskan semua sisa waktuku untuk santai dan rehat. Aku punya tanggung jawab yang tidak bisa diskip begitu saja. Jika ayah adalah pencari nafkah, pulang baginya adalah untuk istirahat dan santai bersama keluarga. Bagiku tentu tidak, bekerja di luar adalah sunnah. Sedangkan kewajibanku ada di rumah. Aku tidak mau menjadikan alasan lelah dan capek sebagai tameng untuk lepas dari tugas. 
Untuk itu, aku perlu memelihara semangat agar bisa menunaikan kewajiban dengan senang hati. Dengan itu aku dapat merasakan kepuasan dan kebahagiaan yang tak bisa kugambarkan dalam kata-kata. 
Dapat menyediakan semua keperluan keluarga setiap harinya, dapat membimbing anak belajar serta menemaninya bercerita segala hal yang dialami seharian, MasyaAllah! Inilah kebahagiaanku. 
Aku tak mengharapkan apapun kecuali apa yang sudah Allah janjikan. Semoga aku bisa menjaga keikhlasan niat karena Allah ta'ala di masa kini hingga seterusnya.