Kamis, 16 Desember 2010

Sejarah Singkat Orientalisme

Apa dan Siapa Orientalisme?

Orientalisme dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah ilmu pengetahuan tentang ketimuran atau tentang budaya ketimuran. Sementara itu dalam buku “Buhûst Fi at Tabsyîr Wa al Isti
syrâq” (Pembahasan Tentang Misionarime dan Orientalisme) karangan Dr. Hasan Abdur Rauf, disebutkan bahwa kata ‘Orientalisme’ secara umum diberikan kepada orang-orang non-Arab yang mempelajari ilmu-ilmu tentang ketimuran, baik itu dari segi bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadatnya. Orang yang mempelajari ilmu itu disebut Orientalis. Khususnya orang-orang yang mempelajari tentang dunia Arab, China, Persia dan India.

Dari pemaknaan di atas mungkin akan timbul pertanyaan, apakah orang Indonesia yang mempelajari tentang ketimuran bisa disebut Orientalis? Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar itu buru-buru membatasi, bahwa sebutan Orientalis diberikan kepada setiap ilmuwan Barat yang mempelajari segala sesuatu tentang ketimuran. Utamanya, istilah Orientalis diberikan kepada orang-orang Nasrani yang ingin mempelajari ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab.

Awal Mula Orientalisme

Pembahasan tentang asal mula Orientalisme, sebenarnya masih menjadi perselisihkan oleh para peneliti sejarah Orientalisme. Dan tidak diketahui secara pasti siapa orang Eropa pertama yang mempelajari tentang ketimuran dan juga tidak ada yang mencacat kapan terjadinya. Mayoritas berpendapat, menurut Dr. Hasan Abdur Rauf bahwa Orientalisme dimulai dari Andalusia (Spanyol) di abad 17 Hijriyah, ketika tekanan Kristen Spanyol kepada masyarakat Islam disana memuncak. Raja Alfonso penguasa Kristen di propinsi Castilla (baca: Castiya) saat itu, memanggil Michael Scott untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam dan peradabannya. Kemudian Scott mengumpulkan sekelompok pendeta dari berbagai gereja dekat kota Toledo untuk membantu tugas-tugasnya.

Pendapat lain mengatakan, Orientalisme dimulai ketika beberapa pendeta dari Barat datang ke Andalusia (Spanyol) saat kerajaan Islam itu berada dipuncak kejayaanya. Kemudian mereka mempelajari berbagai ilmu Islam di sana. Menterjemahkan Al Qur’an dan buku-buku berbahasa Arab ke dalam bahasa mereka, tidak ketinggalan mereka juga berguru kepada para ulama-ulama Islam yang ada di Andalusia waktu itu dari berbagai disiplin ilmu. Khususnya ilmu Filsafat, kedokteran dan Matematika. Dua pendapat di atas sepertinya tidak banyak berbeda dan kita sepertinya tidak perlu terlalu jauh untuk mempermasalahkannya.

Tercatat beberapa orang pendeta yang datang ke Andalusia saat itu, di antaranya:

1. Gerbert, seorang pendeta dari Perancis atau lebih dikenal dengan gelar kepausannya, Sylvester II, yang terpilih menjadi Paus Roma pada tahun 999 M dan berkuasa sampai tahun 1003 M. Ia terpilih sekembali ke negaranya setelah belajar dari berbagai sekolah di Andalusia.
2. Pendeta Petrus yang mulia (1092 – 1156 M).
3. Pendeta Gerrad Kremmen (1114 – 1187 M).

Sekembali ke negaranya, para pendeta itu menyebarkan ilmu Arab Islam dan menyebarkan buku–buku hasil karangan ulama–ulama Islam terkenal. Tidak sebatas itu, para pendeta itu juga mendirikan sekolah–sekolah yang mempelajari dunia Arab dan Islam (Islamic Studies). Sekolah–sekolah itu juga mengajarkan kepada murid-muridnya buku dari bahasa Arab yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa setempat atau latin.

Berbagai universitas di Barat juga mengajarkan tentang berbagai materi keislaman serta menjadikan buku-buku bahasa Arab sebagai rujukan utamanya. Dan itu berlangsung sekitar enam abad. Dari semenjak itulah tak pernah berhenti ada saja orang-orang Barat yang terus mempelajari Islam dan bahasa Arab, menterjemahkan Al Qur’an, sebagian besar buku-buku ilmiah dan buku-buku sastra.

Memasuki Abad ke-18 yang merupakan abad permulaan Barat menjajah negeri-negeri Islam dan menguasai sumber kekayaannya. Dengan jumlah ilmuwan Barat yang tak sedikit, mereka menjadikan kajian tentang dunia Timur sebagai suatu keharusan. Menjiplak manuskrip-manuskrip peninggalan Islam dan membelinya dari orang-orang yang tidak tahu-menahu tentang nilai sejarah. Jika cara itu tidak bisa ditempuh, maka mereka mencurinya dari perpustakaan-perpustakaan yang ada di negeri-negeri Islam. Banyak dari manuskrip-manuskrip langka berbahasa Arab yang ‘pindah’ ke perpustakaan-perpustakaan di Eropa. Di awal abad ke-19 saja tercatat ada sekitar 250.000 jilid buku, dan itu terus berlansung sampai hari ini. Di penghujung abad ke-19 tepatnya tahun 1873 Masehi, di Paris berlangsung muktamar pertama untuk para Orientalis.

Sebab–Sebab Munculnya Orientalisme

Ada banyak hal yang menjadi penyebab lahirnya Orientalisme menurut para peneliti kajian ketimuran. Tetapi penting untuk kita ketahui apa sebab-sebab utama dan faktor pendukung munculnya Orientalisme.

A. Perang Agama

Dari sekian faktor penyebab lahirnya Orientalisme adalah faktor agama atau sentimen keagamaan. Seperti yang telah penulis sebutkan di atas bahwa Orientalisme dimulai dari pendeta–pendeta kemudian menjadi kelompok besar Orientalis, yang kesemuanya bertujuan untuk merusak eksistensi agama Islam, mengaburkan otensitasnya dan memutarbalikan kebenarannya. Sambil terus meyakinkan kepada orang-orang yang mengikutinya bahwa Islam adalah agama yang jauh dari kemajuan, kotor, kasar, dan sumber teroris.

Ketika para Orientalis mendirikan yayasan–yayasan misionaris, hal utama yang menjadi tujuan mereka adalah menjadikan seorang Muslim pindah haluan kepada Kristen. Jika tujuan itu tidak tercapai, setidaknya seorang Muslim jauh dari agamanya atau bahkan kalau perlu menjadikannya tidak bertuhan (Atheis) dan sebagai penyembah materi.

Mereka juga menjadikan pemuda Muslim tidak bangga kepada Islam, menjadi orang yang ragu-ragu terhadap kebenaran Islam dan juga menyerang dasar-dasar agama. Selanjutnya para Orientalis memoles bahwa sesungguhnya metodologi yang ada pada agama mereka lebih baik. Sebagai contoh adalah Teori Hermeunetika yang banyak dikagumi intelektual dan akademisi negara kita.

B. Kolonialisme

Setelah kekalahan Kristen yang menyakitkan di perang Salib, menjadikan mereka berpikir dua kali jika harus melawan Islam dengan kekuatan senjata. Lalu Kristen Barat pun merubah metode mereka untuk menaklukkan Islam dengan pemikiran atau yang biasa disebut dengan istilah ‘invasi pemikiran’.

Metode ini dilakukan atas wasiat Raja Louis dari Perancis, pemimpin Nasrani pada perang Salib ke delapan yang berakhir dengan kekalahan. Bahkan Raja Louis sendiri berhasil ditawan oleh pasukan Islam di propinsi Mansurah, Mesir. Untuk kekuar dari tawanan itu Raja Louis harus membayar upeti yang sangat besar.

Sekembali ke Perancis, Louis memiliki keyakinan bahwa kekuatan militer dan senjata terbukti tidak membuat Islam gentar. Karena konsep mati syahid dan jihad yang tertanam kuat dalam prajurit-prajurit Islam. Maka dipelajarilah segala sesuatu yang berkaitan dengan negeri yang akan mereka taklukkan, mulai dari agama, budaya sampai kekayaannya. Di sinilah kaum intelektual Barat (Orientalis) berperan.

C. Politik

Setelah negeri-negeri terjajah di Timur merdeka dari cengkraman kolonialis, ada target lain yang menjadi incaran negara-negara penjajah yaitu meletakkan kedutaan atau konsulatnya dibekas negara jajahannya. Tujuan dari itu adalah untuk memata-matai aktivitas politik negara tersebut lewat jasa intelejen yang mereka buat, dengan begitu memudahkan mereka untuk mengoalkan tujuan-tujuan politiknya semacam isu teroris dan penguasaan informasi. Sedang kaum intelektualnya atas nama duta negara mempelajari agama dan budayanya.

D. Ekonomi

Dari sekian faktor yang ada, faktor ekonomi merupakan faktor yang paling kuat untuk melahirkan Orientalis. Karena dengan menguasai ilmu ketimuran lewat para cendikiawannya, Barat dengan mudah memiliki data kekayaan negeri-negeri yang ada di Timur. Maka bukan hal aneh jika negara adidaya seperti Amerika begitu bernafsu menduduki negara-negara Timur dan Arab seperti Irak, Afganistan, bahkan Indonesia secara tidak langsung. Selain faktor kekuasaan mereka menyimpan misi untuk menguasai kekayaan, namun sebenarnya tujuan yang lebih jauh dari itu adalah menguasai pasar dunia.

E. Sumber Ilmu

Ilmu pengetahuan Islam adalah hal utama yang dibidik para Orientalis untuk menguasai umat ini. Tentu, misi utama mereka mempelajari ilmu-ilmu Islam bukan untuk mencari kebenaran, tetapi memutarbalikkan fakta dan menghembuskan berbagai syubhat agar kaum Muslimin ragu pada agamanya. Memang diantara para Orientalis itu ada sebagian yang berpikir obyektif tentang Islam dan ada beberapa orang yang akhirnya memeluk Islam. Beberapa karya Orientalis juga menyebar di negara-negara Timur Tengah dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta diizinkan oleh ulama setempat untuk dipelajari dengan tetap bersikap kritis. Seperti buku “Târikh Mazâhib at-Tafsîr al-Islâmy” karangan Orientalis ternama, Goldziher.

Perkembangan Orientalisme

Di awal abad ke–13 Hijriyah atau akhir abad ke–18 Masehi, para Orientalis mengubah taktik mereka dalam mencapai misi-misinya. Yaitu menjadikan Orientalisme sebagai tujuan murni penelitian dan kebutuhan akademis. Sebelumnya Orientalisme dan Misionarisme adalah dua pekerjaan yang memiliki satu tujuan.

Untuk merubah tujuannya itu mereka mendirikan pusat-pusat studi ketimuran di berbagai ibu kota negara Eropa, seperti London, Paris, Leiden dan sebagainya. Dari pusat-pusat itu lahir jurusan khusus yang mempelajari bahasa Arab dan beberapa bahasa–bahasa negeri Islam semisal bahasa Persia, Turki dan Urdu. Tujuan awal pendirian studi Islam itu adalah untuk memperkuat basis kekuasaan militer di negara–negara jajahan dengan intelijen yang menguasai wawasan keislaman. Kemudian mereka mengajak pelajar dan mahasiswa yang tertarik dengan pusat–pusat studi di Eropa untuk belajar di sana. Pastinya dengan iming-iming beasiswa dan tunjangan selama hidup di negeri itu. Bukan berarti kita tidak boleh sekolah di sana, namun sikap kritis dan ‘awas’ sebagai seorang Muslim harus tetap kita jaga. Karena, banyak pelajar dan mahasiswa itu dirubah cara pandangnya tentang Islam, kemudian tidak sedikit dari mereka setelah menyelesaikan studinya menjadi intelektual yang sangat kritis terhadap dasar-dasar Islam.

Sikap dan Kewajiban Kita Selaku Muslim

Sudah menjadi kewajiban umat ini mengembalikan dan menjaga keaslian ajaran Islam. Ini memang pekerjaan besar tidak cukup jika dikerjakan segelintir orang. Meminjam kata-kata Yusuf Qardhawi dalam salah satu ceramahnya, yang kita butuhkan sekarang ini adalah kesadaran berpikir tentang Islam. Dan menurut penulis, kesadaran ini sebagai modal awal membangun peradaban Islam. Kesadaran berpikir itu juga meliputi strategi dan sikap kita melawan invasi pemikiran. Ada beberapa hal yang terkait dengan sikap dan kewajiban kita terhadap Orientalisme menurut DR. Hasan Abdur Rauf:

Pertama, adanya sekeolompok ulama, pemikir dan peneliti yang spesialisasi pekerjaannya adalah menulis tentang tema-tema ilmiyah, kemudian mempersembahkannya untuk umat Islam secara keseluruhan. Dengan perspektif dan sudut pandang yang sesuai dengan ajaran Islam

Kedua, hendaknya karya ilmiah ini benar-benar memenuhi syarat-syarat karya ilmiah dan jauh dari kesalahan. Mulai dari segi kebenaran tulisan, pengkajian yang luas dan analisa yang dalam. Serta tepat dengan sumber-sumber referensi yang menjadi rujukannya.

Ketiga, ulama, pemikir dan peneliti tadi hendaknya mempublikasikan karya-karya Orientalis dan memberikan kritikan secara ilmiah. Kemudian memberikan penjelasan kepada pelajar, mahasiswa atau masyarakat tentang kebatilan dan kesalahan-kesalahan berpikir para Orientalis dengan tetap bersikap obyektif dan tawadhu’.

Keempat, bagi lembaga-lembaga dakwah atau kajian ilmiah menerbitkan majalah-majalah yang berkaitan tentang Orientalisme dan Oksidentalisme (kajian tentang Barat) untuk menyeimbangi media-media Barat yang mendeskreditkan Islam.

Kelima, upaya pemurnian kembali tentang Turâst (peninggalan) Islam dan pengetahuannya dari berbagai syubhat. Terutama kajian tafsir Qur’an yang mulai terdistorsi oleh pemikiran dan metodologi Hermeunetika yang berasal dari Barat.

Kelima sikap dan kewajiban ini merupakan tanggung jawab kita selaku Muslim dan kita hendaknya selalu berdoa ada banyak jiwa-jiwa yang tergerak untuk selalu meninggikan agama ini. Wallâhu Alam

Penulis: Yasin Elgehad, Lc. Mahasiswa America Open Univ., Cairo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar