Mendengar ocehan negatif seseorang tentang diri kita mungkin akan membuat telinga memerah panas hingga tersulut emosi, Ingin rasanya melemparnya dengan bukti-bukti sebagai klarifikasi untuk membela diri. Supaya khalayak tercerahkan, dan bisa menilai dari dua sisi. Tapi untuk apa, si pembenci akan tetap menjadi pembenci jika pikiran dan hatinya enggan dibenahi. Dan khalayak hari ini sesungguhnya bukanlah orang awam yang perlu diajari untuk menilai seseorang, nurani dan kecerdasan akan mampu menilai dengan benar meski seringkali ketakutan akan keterasingan melunturkan ketegasan dalam bersikap.
Betapa kita lihat hari ini, kebenaran dikalahkan oleh ketenaran. Kebanyakan orang tidak lagi memandang kebenaran sebagai hal yang perlu dijunjung tinggi yang kemudian dimanifestasikan dalam diri, karena kebenaran hari ini sudah tercampak terhempaskan oleh kepalsuan yang berbalut dalil-dalil pembenaran.
Saya tidak sedang membahas sesuatu dalam lingkup yang besar, tapi ini terjadi di kelompok kecil. Di mana yang kuat menempati posisi paling tinggi. Dengan kuasa mempengaruhi menarik banyak follower yang mengikuti , membela dan membenarkan.
Tapi apakah ini akan membuat kita ciut yang kemudian membuat diri kita seperti buih-buih di tepian pantai. Atau seperti baling-baling bambu di puncak bukit. Tentu itu semua tergantung pilihan kita. Jika kita tegas dan terus memegang prinsip kebenaran maka konsekuensi untuk dihujat dan diserang harus diterima lapang dada. Namun jika memilih mengikuti kemana arah angin, maka selagi kekuatan angin yang membawa masih kuat maka kita akan aman berada dalam ritme putarannya. Jika hembusan angin berhenti maka kita akan kembali menjadi pecundang yang tak bisa melakukan apa-apa selain hanya diam seribu bahasa.
Kebenaran logika dan metode berpikir sangat dibutuhkan dalam hal ini. Agar kita menjadi manusia yang teguh dalam prinsip serta tak takut menampakkan jati dirinya. Ini bukan hanya soal menilai seseorang, bukan soal yang benar harus dijunjung tinggi dan yang salah dicaci maki. Tapi soal konsistensi dalam memegang prinsip hidup. Tentang apapun itu. Kebenaran logika berpikir akan melahirkan tindakan yang tepat, menciptakan pemikiran yang konsisten dan tidak mudah berubah-ubah. Logika berpikir yang tepat dan benar dimasak dengan data-data yang valid yang diperhitungkan, bukan dengan asumsi subjektif yang ditunggangi aneka kepentingan.
Secara sederhana dan tetap berfokus pada judul tulisan ini, seringkali seseorang begitu mudahkan memberikan label-label negatif pada seseorang tanpa melihat dari beragam sisi, bahkan jatuh kepada fitnah-fitnah tak berdasar. Kemudian hal tersebut disuarakan ke khalayak yang artinya tidak lagi menjadi asumsi pribadi yang cukup disimpan sendiri. Tak hanya menjadi dosa sendiri tapi menjadi dosa jariah yang akan terus dipanen setiap hari selagi asumsi tersebut masih dipegang oleh siapapun yang mendengar. Artinya; kesalahan logika berpikir membuat seseorang tergelincir pada suatu kesalahan. Bukankah kita harus berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu? Bukankah harus tau dulu seberapa urgentnya sesuatu untuk dibahas? Jika memang harus dibahas, adakah manfaat yang kelak bisa dipanen atau malah berakibat yang tidak baik? dan apakah kita punya cukup ilmu atau data tentang hal itu?
Apalagi hal tersebut menyangkut diri pribadi orang lain. Rasanya jelas, bahwa tak ada kepentingan kita dalam membahas pribadi orang lain dihadapan umum. Jika itu untuk menanamkan asumsi bahwa kita lebih baik atau bahkan sempurna di dalam kepala orang-orang maka silahkan saja, dan tentu hal tersebut telah disusupi oleh kepentingan pribadi kita sendiri.
Mungkin sikap terbaik yang perlu kita tumbuh suburkan saat menilai pribadi seseorang, adalah dengan memberinya uzhur atas kealpaan yang dia lakukan. "Oh mungkin dia seperti ini karena belum tau ilmunya" Atau dia begitu mungkin karena dia sedang futhur. Kemudian doakan kebaikan untuknya. MasyaAllah, akan sejuk telinga mendengarnya. serta akan tercipta iklim yang damai. Terakhir, sebuah syair sederhana mungkin akan menjadi penutup yang sempurna. Untuk sesiapa saja yang sedang lupa yang kemudian tanpa sengaja telah mencederai sepotong hati.
"Duhai yang tengah lupa, yang menjelma menjadi pembenci, dengan semua pengikut yang terus mengekor di belakangnya, aku tidak bisa mengontrol dirimu, aku tak mampu menutup mulutmu dan aku merasa tak perlu melakukan itu. Silahkan tebarkan asumsimu tentangku seluas-luasnya yang kamu mampu, agar seluruh penghuni bumi tau bahwa aku seperti ini dan itu. Tapi sekuat-kuatnya kuasa yang kamu miliki, kuasa Allah sungguh jauh berada di atasmu, dan tidak semua manusia bisa kamu pengaruhi, di luar sana banyak manusia cerdas yang dengan mudah bisa membaca kualitas dirimu. Aku tak pernah butuh pengakuan, aku tak butuh dipandang baik, namun aku tetaplah manusia biasa yang memiliki ragam rasa, jika hatiku terluka aku akan merasakan kesedihan juga. Bahwa hidupku milikku, dan aku tak perlu menjelaskan apapun kepadamu tentang apa yang menjadi milikku. Aku tak merugikanmu, aku pun tidak berusaha membela diriku ketika kamu berbicara sesuatu di belakangku, kubiarkan kamu dengan segala kekuatanmu dan tidak akan pernah kujatuhkan. Semoga Allah selalu menuntunmu pada kebaikan, karena sesungguhnya aku bisa memahami bahwa kamu begitu karena mungkin saat itu kamu dalam keadaan lupa saja, aku yakin esok kamu akan kembali pada nilai-nilai baik yang sudah ditanamkan pada dirimu sejak dulu. "