Jumat, 06 September 2024

Duhai yang Tengah Lupa

Mendengar ocehan negatif seseorang tentang diri kita mungkin akan membuat telinga memerah panas hingga tersulut emosi, Ingin rasanya melemparnya dengan bukti-bukti sebagai klarifikasi untuk membela diri. Supaya khalayak tercerahkan, dan bisa menilai dari dua sisi. Tapi untuk apa, si pembenci akan tetap menjadi pembenci jika pikiran dan hatinya enggan dibenahi. Dan khalayak hari ini sesungguhnya bukanlah orang awam yang perlu diajari untuk menilai seseorang, nurani dan kecerdasan akan mampu menilai dengan benar meski seringkali ketakutan akan keterasingan melunturkan ketegasan dalam bersikap. 
Betapa kita lihat hari ini, kebenaran dikalahkan oleh ketenaran. Kebanyakan orang tidak lagi memandang kebenaran sebagai hal yang perlu dijunjung tinggi yang kemudian dimanifestasikan dalam diri, karena kebenaran hari ini sudah tercampak terhempaskan oleh kepalsuan yang berbalut dalil-dalil pembenaran. 
Saya tidak sedang membahas sesuatu dalam lingkup yang besar, tapi ini terjadi di kelompok kecil. Di mana yang kuat menempati posisi paling tinggi. Dengan kuasa mempengaruhi menarik banyak follower yang mengikuti , membela dan membenarkan. 
Tapi apakah ini akan membuat kita ciut yang kemudian membuat diri kita seperti buih-buih di tepian pantai. Atau seperti baling-baling bambu di puncak bukit. Tentu itu semua tergantung pilihan kita. Jika kita tegas dan terus memegang prinsip kebenaran maka konsekuensi untuk dihujat dan diserang harus diterima lapang dada. Namun jika memilih mengikuti kemana arah angin, maka selagi kekuatan angin yang membawa masih kuat maka kita akan aman berada dalam ritme putarannya. Jika hembusan angin berhenti maka kita akan kembali menjadi pecundang yang tak bisa melakukan apa-apa selain hanya diam seribu bahasa. 
Kebenaran logika dan metode berpikir sangat dibutuhkan dalam hal ini. Agar kita menjadi manusia yang teguh dalam prinsip serta tak takut menampakkan jati dirinya. Ini bukan hanya soal menilai seseorang, bukan soal yang benar harus dijunjung tinggi dan yang salah dicaci maki. Tapi soal konsistensi dalam memegang prinsip hidup. Tentang apapun itu. Kebenaran logika berpikir akan melahirkan tindakan yang tepat, menciptakan pemikiran yang konsisten dan tidak mudah berubah-ubah. Logika berpikir yang tepat dan benar dimasak dengan data-data yang valid yang diperhitungkan, bukan dengan asumsi subjektif yang ditunggangi aneka kepentingan. 
Secara sederhana dan tetap berfokus pada judul tulisan ini, seringkali seseorang begitu mudahkan memberikan label-label negatif pada seseorang tanpa melihat dari beragam sisi, bahkan jatuh kepada fitnah-fitnah tak berdasar. Kemudian hal tersebut disuarakan ke khalayak yang artinya tidak lagi menjadi asumsi pribadi yang cukup disimpan sendiri. Tak hanya menjadi dosa sendiri tapi menjadi dosa jariah yang akan terus dipanen setiap hari selagi asumsi tersebut masih dipegang oleh siapapun yang mendengar.  Artinya; kesalahan logika berpikir membuat seseorang tergelincir pada suatu kesalahan. Bukankah kita harus berpikir dulu sebelum melakukan sesuatu? Bukankah harus tau dulu seberapa urgentnya sesuatu untuk dibahas? Jika memang harus dibahas, adakah manfaat yang kelak bisa dipanen atau malah berakibat yang tidak baik? dan  apakah kita punya cukup ilmu atau data tentang hal itu? 
Apalagi hal tersebut menyangkut diri pribadi orang lain. Rasanya jelas, bahwa tak ada kepentingan kita dalam membahas pribadi orang lain dihadapan  umum. Jika itu untuk menanamkan asumsi bahwa kita lebih baik atau bahkan sempurna di dalam kepala orang-orang maka silahkan saja, dan tentu hal tersebut telah disusupi oleh kepentingan pribadi kita sendiri. 
Mungkin sikap terbaik yang perlu kita tumbuh suburkan saat menilai pribadi seseorang, adalah dengan memberinya uzhur atas kealpaan yang dia lakukan. "Oh mungkin dia seperti ini karena belum tau ilmunya" Atau dia begitu mungkin karena dia sedang futhur. Kemudian doakan kebaikan untuknya. MasyaAllah, akan sejuk telinga mendengarnya. serta akan tercipta iklim yang damai. Terakhir, sebuah syair sederhana mungkin akan menjadi penutup yang sempurna. Untuk sesiapa saja yang sedang lupa yang kemudian tanpa sengaja telah mencederai sepotong hati. 

"Duhai yang tengah lupa, yang menjelma menjadi pembenci, dengan semua pengikut yang terus mengekor di belakangnya, aku tidak bisa mengontrol dirimu, aku tak mampu  menutup mulutmu dan aku merasa tak perlu melakukan itu. Silahkan tebarkan asumsimu tentangku seluas-luasnya yang kamu mampu, agar seluruh penghuni bumi tau bahwa aku seperti ini dan itu. Tapi sekuat-kuatnya kuasa yang kamu miliki, kuasa Allah sungguh jauh berada di atasmu, dan tidak semua manusia bisa kamu pengaruhi, di luar sana banyak manusia cerdas yang dengan mudah bisa membaca kualitas dirimu. Aku tak pernah butuh pengakuan, aku tak butuh dipandang baik, namun aku tetaplah manusia biasa yang memiliki ragam rasa, jika hatiku terluka aku akan merasakan kesedihan juga.  Bahwa hidupku milikku, dan aku tak perlu menjelaskan apapun kepadamu tentang apa yang menjadi milikku. Aku tak merugikanmu, aku pun tidak berusaha membela diriku ketika kamu berbicara sesuatu di belakangku, kubiarkan kamu dengan segala kekuatanmu dan tidak akan pernah kujatuhkan. Semoga Allah selalu menuntunmu pada kebaikan, karena sesungguhnya aku bisa memahami bahwa kamu begitu karena mungkin saat itu kamu dalam keadaan lupa saja, aku yakin esok kamu akan kembali pada nilai-nilai baik yang sudah ditanamkan pada dirimu sejak dulu. " 

Selasa, 03 September 2024

Diary Ibu : Varicella Lagi

Infeksi varicella sudah berjalan sepekan di area rumahku. Orang pertama yang terinfeksi adalah si sulung. Sepertinya ketularan dari teman sekelas yang sebelumnya menderita penyakit serupa. Di beberapa hari pertama, pikiranku menjadi sangat terganggu. Banyak kecemasan yang bermunculan di kepala. Kenapa? Karena wali kelas si sulung mengatakan bahwa pekan ini adalah pekan tes sumatif, dan beberapa hari lagi ujian tengah semester pun akan dimulai. Selain itu bagaimana menjaga anak tengah dan sibungsu agar ga ketularan sedangkan mereka biasa bermain bersama, dan kalau akhirnya ketularan gimana ngadepinnya, serta ada perasaan ga enak ke atasan karena aku pasti bakal libur kerja dalam waktu yang panjang. Subhanallah, semua itu bersarang di kepalaku setiap waktu. 
Tapi sekarang isi otakku sudah mulai rapih lagi. Hari demi hari kucoba menata pikiran. Mengklasifikasikan masalah dari yang paling darurat hingga ringan, sehingga aku tau mana yang perlu diprioritaskan terlebih dahulu, aku pun bisa menuntaskan masalah satu persatu dengan lebih ringan. Kemudian perlunya sikap "acceptance" Atau menerima keadaan yang menimpa.  Bahwa ini takdir, dan tidak boleh ada penolakan atau pertanyaan. Sehingga aku bisa secara jernih memaksimalkan usaha preventif dan kuratifnya. Setelah itu kuberserah pada Allah apapun yang terjadi itu terjadi atas kuasa dan kehendakNya. Dan aku akan menjalani saja dengan segala kekuatan diri yang kupunya. 
Di saat tulisan ini kutulis, anak tengahku akhirnya terinfeksi dari abangnya. Suamiku juga, karena saat cacar air datang ke rumah, suami  dalam keadaan sakit dan imun beliau sedang lemah, jadi dengan mudahnya virus itu menjangkiti. Tersisa aku dan sibungsu. Aku terus berbicara pada diriku sendiri bahwa aku harus kuat. Setiap waktu kukatakan bahwa aku kuat. Semoga Allah mengijabah harapanku sehingga aku bisa menjadi tameng keluarga sementara ketika suami terbaring lemah. 
Aku menerima, karena aku sudah berusaha.  Beberapa saran dari teman-teman sudah kulakukan semampuku. Pisah kamar, booster imun, konsumsi banyak protein, menghindari kontak fisik dan lain sebagainya. Tapi apa daya, beberapa dari kami terinfeksi juga. Aku menerima karena sakit tidak selalu menjadi musibah, bahkan di saat sekelilingku sakit aku menjadi lebih banyak bersyukur karena begitu banyak kemudahan yang Allah berikan di balik kesusahan yang kuterima.
Banyak chat dari kawan yang bertanya, kemarin udah kena cacar, kok bisa kena lagi sih? Sekali lagi kujawab. Waktu konsultasi ke dokter saat infeksi cacar dua bulan lalu aku sudah menanyakan hal ini ke dokter, apakah kita bisa terinfeksi dua kali? Dan dokter menjawab, bisa. Jika imun tubuh sedang menurun maka virus cacar bisa menyerang untuk kedua kalinya. 
Apakah ini karena anak-anakku tidak diimunisasi? Tidak juga, karena aku dulu imunisasi cacar, tapi kena cacar juga. Suamiku pun imunisasi, tapi kena juga. Yang kutau dari dokter saat aku dan suami menolak pemberian imunisasi kepada anak kami ; imunisasi tidak membuat kita kebal virus, tapi meringankan efek serangan virus. Wallahu a'lam

Senin, 02 September 2024

IAH

Kali ini aku merasa sendiri
Tak ada yang peduli dan mengajak berkomunikasi
Hanya note-note kosong menanti 
Agar segera dicurahkan segala isi hati
Kemana dia yang dulu selalu di sisi
Yang tersenyum dengan lesung di pipi
Mendengar segala kesuh kesah diri
Yang turut berbahagia tatkala sempurna hari hari

Apakah kali ini atau seterusnya
Karena lelah terasa lebih nyata
Tatkala dia tak lagi mau menerima
Apapun selalu menjadi prahara
Membuat kusut isi kepala
Juga sakit di sekujur jiwa dan raga
Pada akhirnya ini menjadi satu tanda tanya
Apakah ini saatnya
Menyerah dengan menanggalkan semua 
atribut bersamanya

Tapi rasa ini mungkin saja salah
Karena pikiran sedang dijajah gundah
Sulit menilai seberapa ini parah
Sehingga sulit untuk mengalah
Apalagi menerima kesalahan, jelas susah
Hingga kini diri dirundung pasrah
Yang dimampu hanyalah berserah
Pada semua ketentuan dan petunjuk Allah


Minggu, 01 September 2024

Notasi Cinta Untuk Ibuk

Buk, kita sama sama tau betapa kita saling mengasihi. 
Kasih sayang yang terbentuk bukan hanya dari pertalian darah, tapi juga dari pembiasaan, serta dari gesekan-gesekan kecil yang terus menambah kelekatan. 
Kita sadar betul bahwa keluarga adalah tempat kita menaruh segala kepercayaan. Tak ada keluarga yang mengkhianati, tak ada keluarga yang berpaling saat kita rubuh hancur dan remuk. 
Keluarga pulalah tempat pulang ternyaman, di saat jiwa tlah lelah dalam pengembaraannya, mencari jutaan makna di dunia.
Dan keluarga itu adalah kita. Ya, kita. 
Buk, aku ingat beberapa kesimpulan yang kita ambil dari rentetan panjang peristiwa kehidupan  kala itu. Bahwa ke depan kita akan terus berpegangan saat goncangan dari kanan kiri berusaha menghempaskan. Bahwa ke depan kita akan selalu ingat bahwa kebahagiaan duniawi bukanlah tujuan kita. Bahwa dari sekarang hanya kita yang tau hidup kita serta sejarah yang ada di belakangnya. Tak akan ada yang mengerti dan takkan ada yang bisa mengerti kecuali kita. 
Buk, darimu aku belajar menguatkan diri. Saat takdir yang berjalan menyelisihi keinginan hati. Darimu kudapatkan sikap keras kepala untuk mewujudkan segala mimpi. Darimu juga aku belajar menghargai setiap perjuangan. Darimu aku belajar berjuang mempertahankan hak-hak kita, dan belajar mengikhlaskan saat hak tersebut dirampas paksa. Dari kisahmu aku belajar bahwa bagaimanapun kerasnya hidup akan selalu ada kemudahan yang menyertainya.
Terima kasih Buk, atas segala penerimaanmu atas diriku. Dari kekurangan dan kelebihanku sebagai anakmu. Dari kegagalanku dalam memenuhi impianmu. 
Yang mana aku sering memilih jalan lain sementara kau telah menyediakanku  jalan yang menurutmu benar. 
Aku jauh luar biasa senang hari ini. Karena sekarang wajahmu tampak lebih ceria. Ibadahmu semakin banyak, dan aku melihat perubahan yang sangat besar dalam caramu memandang segala hal. 
Buk, aku ingin ibuk bahagia. Segala hal yang terjadi di belakang biarlah menjadi sejarah dan bukti perjuangan kita menuju hari ini. Berbahagialah Buk. Pergilah kemana ibuk suka. 
Mau di kampung atau di rumahku kemana ibuk mau. Ada anak, cucu-cucu dan menantu yang akan menambah kegembiraan. 
Buk, Terima kasih segalanya ya Buk.