Selasa, 08 Oktober 2019

Di Awal Kehadirannya

Tatkala si kecil lahir, bahagia rasa hati. Generasi penerus yang ditunggu-tunggu kehadirannya akhirnya datang dalam kehidupan. Tiada kata yang bisa terucap, kecuali kebahagiaan. Dan seketika, terbayang suasana rumah yang nanti tak akan sepi lagi.
Namun di balik itu semua, rasa khawatir pun muncul. Banyak pertanyaan bersarang di kepala. Terutama bagi bunda yang tingkat kecemasannya jauh di atas ayah. Contohnya; Bisa ga ya saya merawatnya dengan baik? Akankah perkembangan dan pertumbuhannya baik-baik saja? Ini kok nangis terus, anak saya kolik ya? Nah, kalau beneran kolik trus gimana? Belum lagi jika asi tidak keluar. Rasanya terpukul luar biasa. Tubuh jadi lelah, pikiran pun tersita. Butuh rasanya dukungan dari semua orang di jagat raya ini. Betul tak?
***
20 November 2017 lalu, Alhamdulillah anak saya "falah" lahir dengan selamat lewat persalinan normal. Kami, umi dan abinya sungguh luar biasa bahagia. Setelah satu tahun menunggu, Allah akhirnya memberikan amanah ini pada kami di saat kami sudah benar benar merasa ikhlas dan tawakkal pada-Nya. Namun lucunya, setelah anak lahir, rasanya kok jadi kagok. Padahal sebelumnya saya sudah punya banyak riwayat bacaan. Cara mengetahui arti tangisan bayi lah, cara memandikan bayi lah, posisi menyusui yang benar, dan banyak hal lainnya. Tapi itu wajar, teori saja tentu tak cukup. Kalau pun mau praktek, pakai bayi siapa? kan ga lucu kalau harus pinjam bayi orang lain. Nah, sewaktu di rumah sakit, semuanya masih terasa mudah, karena semua pekerjaan dikerjakan oleh perawat. Tapi setelah si kecil dibawa pulang, barulah kebingunan kebingungan itu muncul.
Syukurnya, Allah selalu memberikan kemudahan setelah adanya kesulitan di masa awal persalinan. Tiba tiba saja orang tua menawarkan kursus gratis memandikan dan membedong bayi di rumah beliau. Tanpa ragu saya terimalah tawaran tersebut (walaupun sebelumnya berniat ingin mandiri). kami boyonglah falah ke rumah orang tua. Bersamaan dengan itu, saya juga bikin program untuk melatih diri menjadi kelelawar, malam berjaga siang tidur. Banyak trik yang diadopsi dari google. Namun program ini tak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Banyak hal lucu sampai menyedihkan terjadi. Pada akhirnya saya hanya sukses berjaga di waktu malam, sedangkan siangnya tetap tak bisa tidur. Rasanya ituu....... Wow! Wow ngantuknya, wow pegalnya. Apalagi saya yang saat itu masih nyeri tulang dan otot sehabis melahirkan. Jalan pun masih susah. Tapi untungnya ada suami yang sentiasa setia menemani. Kami selalu bergotong royong dalam penjagaan si kecil. Jika lelah, lelah bersama. Selalu berusaha untuk tidak mengeluh, karena ini anugrah yang seharusnya disyukuri. Setelah satu, dua, tiga bulan berlalu. Proses tersebut terasa lebih mudah. Namun kekhawatiran yang baru mulai bermunculan. Setelah diperhatikan secara detail, Kok mata si kecil kayak juling gitu ya? Warna pup nya kok berubah? Kemarin pup nya lancar sekarang udah hampir seminggu belum pup? Ini lagi di tangannya muncul bintil merah, kenapa ya? Anak si ini 3 bulan udah bisa tengkurap, anak saya kapan, ini udah mau 4 bulan lho? Haduuuuh! Pusing deh pala umi. Kalau abinya mah lebih tenang. Yang susahnya menenangkan si umi kalau khawatir akutnya kambuh.
Ya begitulah, Selalu aja ada hal yang bikin cuaca cerah jadi mendung seketika. Kalau begitu benarlah, jika kita telah memiliki anak, rasa khawatir itu akan selalu bermunculan lagi dan lagi. Saat anak bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, bahkan setelah anak kita berkeluarga sekalipun. Itulah bukti kasih sayang orang tua pada anaknya. Dari khawatir timbullah aturan, dari khawatir muncullah nasehat, bahkan kadang ada yang berwujud hukuman. Para anak harusnya faham akan hal itu. Tapi, khawatirnya jangan berlebihan ya bunda. Akibatnya pasti tak sehat buat jiwa kita, dan terhadap anak pun takkan baik dampaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar