Potret kehidupan desa dan masa kecil adalah bahagian penggalan hidup yang tak pernah bisa pudar diingatan. Apalagi ketika tak sengaja melihat gambaran desa dalam sebuah bingkai foto, maka kenangan itu akan semakin jelas dan kerinduan akan semakin menggebu seolah ingin terbang ke masa itu untuk hadir mengulang peristiwa demi peristiwa yang ada.
Suasana desa yang damai dan asri, orang-orangnya yang ramah, anak kecil yang bermain kelereng di samping rumah, serta keberadaan anggota keluarga yang lengkap mewarnai keceriaan di masa itu.
Ah! Sungguh aku telah dibuatnya rindu.
Terkenang manisny masa itu. Saat dimana aku dan amak (a.k.a nenek) berangkat ke kebun menjelang subuh. Kebun yang kami sebut "tabarangka". Kebun yang cukup jauh dari rumah, terletak di dekat hutan dan bebukitan. Tapi kami bisa mengandalkan dua kaki ini untuk bisa sampai ke sana. Melewati sawah, dengan medan yang menurun dan juga mendaki. Melewati beberapa kali jembatan yang besarnya cuma sejengkal, terdiri dari beberapa ranting kayu yang kemudian disusun rapat agar bisa menjadi pijakan. Saat cuaca baik, maka perjalanan terasa mudah. Namun jika musim penghujan datang, maka semakin banyak tantangan dalam perjalanan. Jalanan berlumpur dan licin, serta banyaknya pacet yang bisa saja menempel di kaki, siap menghisapi darah dari pembuluh.
Ada banyak tujuan kami datang ke kebun, salah satunya mengumpulkan buah asam kandis. Biasanya asam kandis yang masak akan berjatuhan di sekitaran batang. Dan itulah yang akan kami kumpulkan untuk diolah oleh amak agar bisa dijual ke pasar serta untuk stok di rumah sebagai bahan pelengkap dalam memasak gulai pangek masin kesukaan keluarga.
Saat siang datang, kami pun duduk santai di dangau sambil mencicipi bekal yang ditungkus daun pisang. Atau menikmati Ubi kayu yang dibakar di perapian yang selalu dijaga untuk tetap hidup. Kata amak, asap perapian penting untuk terus hidup agar tanaman merasakan kasih sayang pemiliknya. Biasanya saat berjalan pulang, kami memetik tanaman pakis untuk digulai. Aku ingat betul, dari perjalanan rumah-kebun inilah aku bisa membedakan mana pakis yang bisa dimasak dan mana yang tidak. Amaklah yang memberiku pelajaran.
Sungguh! Amak adalah orang yang paling aku cinta dan sayangi di kehidupan ini. Karena hari- hariku dulu semasa kecil sering bersama beliau. Keperluan hidupku amak yang urus. Sampai tidur pun dengan beliau, dan sering sebelum tidur aku mendengarkan cerita hikayat masa lampau dari amak. Amak yang memandikan, amak yang menyisir rambut, amak pula yang menjalin dan mengikat rambutku dengan beragam mode. Hal lain tentang amak yang masih sangat melekat di ingatanku adalah rajinnya amak. Tiada hari tanpa beberes, menanam, menyabut rumput dan lainnya. Sehingga kala itu sekeliling rumah kami penuh dengan tanaman. Mulai dari kunyit, serai, lengkuas, merica, cabe rawit, buah nanas dan lainnya. Amak juga sangat penyayang pada tumbuhan dan juga binatang. Senantiasa ingin melindungi. Kucing, ikan, ayam yang menjadi peliharaannya dijaga dengan baik.
Pernah dahulu, amak mendapat kabar bahwa pohon durian kami di kebun dibakar orang. Amak langsung mengajakku ke kebun, di sana naik turun amak mengambil air dengan ember untuk menyirami bara api yang masih tersisa di pangkal batang durian itu. Beliau melakukannya sambil menangis. Karena pohon durian itu adalah pohon durian terbaik yang kami punya. Buahnya kuning, tebal, dan enak. Tapi ya sudahlah kata amak. Allah maha tau.
Ah! Begitulah kenangan. Semakin ditulis semakin terkenang dan membuat air mata ini tumpah ruah.
Aku, amak, pedesaan, dan kebun kami. Sekarang amak sudah tiada. Tepatnya 2013 silam. Bersyukur aku bisa merawat amak hingga saat terakhir hidupnya. Minggu, jam lima sore, amak berpulang di depan mataku. Kusaksikan semua prosesnya. Kutalqinkan kalimah di telinganya. Hingga mata itu tertutup untuk selamanya.
Upa sayang amak. Semoga lapang kubur amak. Tunggu upa ya mak. Berkumpul nanti kita di jannah-Nya.
Sungguh! Amak adalah orang yang paling aku cinta dan sayangi di kehidupan ini. Karena hari- hariku dulu semasa kecil sering bersama beliau. Keperluan hidupku amak yang urus. Sampai tidur pun dengan beliau, dan sering sebelum tidur aku mendengarkan cerita hikayat masa lampau dari amak. Amak yang memandikan, amak yang menyisir rambut, amak pula yang menjalin dan mengikat rambutku dengan beragam mode. Hal lain tentang amak yang masih sangat melekat di ingatanku adalah rajinnya amak. Tiada hari tanpa beberes, menanam, menyabut rumput dan lainnya. Sehingga kala itu sekeliling rumah kami penuh dengan tanaman. Mulai dari kunyit, serai, lengkuas, merica, cabe rawit, buah nanas dan lainnya. Amak juga sangat penyayang pada tumbuhan dan juga binatang. Senantiasa ingin melindungi. Kucing, ikan, ayam yang menjadi peliharaannya dijaga dengan baik.
Pernah dahulu, amak mendapat kabar bahwa pohon durian kami di kebun dibakar orang. Amak langsung mengajakku ke kebun, di sana naik turun amak mengambil air dengan ember untuk menyirami bara api yang masih tersisa di pangkal batang durian itu. Beliau melakukannya sambil menangis. Karena pohon durian itu adalah pohon durian terbaik yang kami punya. Buahnya kuning, tebal, dan enak. Tapi ya sudahlah kata amak. Allah maha tau.
Ah! Begitulah kenangan. Semakin ditulis semakin terkenang dan membuat air mata ini tumpah ruah.
Aku, amak, pedesaan, dan kebun kami. Sekarang amak sudah tiada. Tepatnya 2013 silam. Bersyukur aku bisa merawat amak hingga saat terakhir hidupnya. Minggu, jam lima sore, amak berpulang di depan mataku. Kusaksikan semua prosesnya. Kutalqinkan kalimah di telinganya. Hingga mata itu tertutup untuk selamanya.
Upa sayang amak. Semoga lapang kubur amak. Tunggu upa ya mak. Berkumpul nanti kita di jannah-Nya.